Rabu, 11 Januari 2012

Dampak Potensial Transgenik

Seri Bioteknologi & Biosafety TWN
Dampak Potensial Transgenik terhadap Sosial-Ekonomi, Budaya dan Etika:
Prospek Kajian Dampak Sosial-Ekonomi
Oleh: Elenita C. Dano
Third World Network (TWN)
Dampak Potensial Transgenik terhadap Sosial-Ekonomi, Budaya dan Etika:
Prospek Kajian Dampak Sosial-Ekonomi
Oleh: Elenita C. Dano
Diterjemahkan dari bahasa Inggris
Judul Asli: Potential Socio-Economis, Cultural and Ethical Impacts of GMOs: Prospects for
Socio-Economic Impact Assesment
Diterbitkan oleh Third World Network - Penang, Malaysia
copyright@Norsk institutt for genekologi (Gen0k), Tromso,
and Tapir Academic Press, Trondheim, 2007
ISBN: 978-983-2729-23-5
Penerjemah: Ika N. Khrisnayanti
Daftar Isi
Bab 1. Pengantar …………………………………………………………………………..
Bab 2. Teknologi dan Masyarakat …………………………………………………………
Bab 3. Pertimbangan Sosial-Ekonomi ‘Ditentukan’ ……….………………………………
Bab 4. Pentingnya Mengkaji Dampak Sosial-Ekonomi Transgenik ......................................
4.1. Pertimbangan Sosial-Ekonomi dalam kaitannya dengan Transgenik:
Pengakuan Hukum ……………………………………………………………..
4.2. Pengkajian Dampak Sosial-Ekonomi
(Socio-Economic Impact Assessment/SEIA) ……………………………………..
Bab 5. Pertimbangan Sosial-Ekonomi: Apa yang akan Dikaji? ……………………………..
5.1. Pertimbangan Ekonomi ………………………………………………………….
5.2. Pertimbangan Sosial ……………………………………………………………..
Bab 6. Kelembagaan Pengkajian Dampak Sosial-Ekonomi (SEIA) ….……………………..
Bab 7. Kajian Dampak Sosial-Ekonomi: Prinsip-prinsip Panduan ………………………….
Daftar Acuan …………………………………………………………………………
Ucapan Terima Kasih
Makalah ini aslinya diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku Biosafety First – Holistic Approaches to Risk and Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically Modified Organismes, 2007, Terje Traavik and Lim Li Ching (eds.), Tapir Academic Press, Trondheim, ISBN: 9788251921138. Buku ini dicetak atas ijin penerbitnya.
Bab 1
Pengantar
Pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya yang terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika (genetically modified organisms/transgeniks) cenderung mendapat sedikit perhatian dibandingkan ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Kecenderungan ini menandakan, perdebatan dalam kecukupan penggunaan dan pelepasan transgenik adalah soal ilmiah-teknis. Hal ini hanya terbuka untuk kalangan ilmuwan dan para pakar yang bergerak di bidang ini. Sedikitnya literatur yang membahas pertimbangan sosial-ekonomi transgenik ini dapat dijelaskan dengan sejumlah alasan. Dampak sosial-ekonomi dari setiap teknologi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat terwujud, seperti teknologi-teknologi baru yang hadir di dunia, contohnya Revolusi Hijau. Sebelum dampaknya terlihat jelas, Revolusi Hijau sudah meluas dan di banyak kasus teknologi ini menjadi sangat melembaga. Penerapan Revolusi Hijau telah menciptakan sebuah kelas baru dalam dunia buruh pertanian dan mengubah relasi gender berupa meningkatnya beban perempuan dalam bertani (Paris, 1998). Sebelum para ilmuwan sosial mulai melihat fenomena ini, dampak teknologi ini telah masuk ke lembaga-lembaga sosial dan segera mengubah relasi-relasi sosial yang ada.
transgenik dapat menyebabkan perubahan-perubahan baik ekologi maupun sosial yang tidak dapat ditarik kembali. Sementara hal ini terjadi pada kebanyakan inovasi teknologi yang diterapkan di setiap masyarakat, transgenik memiliki sifat-sifat khusus yang dapat menimbulkan dampak ekologi dan sosial yang lebih serius dan meluas. Perdebatan mendasar etika dan sosial berpangkal dari kenyataan bahwa pada transgenik terjadi manipulasi bentuk-bentuk dan proses kehidupan, serta menimbulkan dampak sosial-ekonomi dan ekologi akibat pencemaran transgenik tersebut. Hal ini merupakan satu di antara banyak aspek unik teknologi ini. Bahkan jika teknologi ini ditarik kembali atau masyarakat menghentikan penerapan teknologi ini, maka dampak sosial-ekonominya masih tetap ada dan membekas secara permanen dalam sejarah dan masyarakat. Yang lebih serius, jika transgenik ini bersilang dengan populasi liar atau mencemari tanaman konvensional bahkan meski telah lama petani menghentikan penanaman tanaman transgenik tersebut. Fakta ini menekankan betapa pentingnya kajian dampak potensial sosial-ekonomi transgenik baik sebelum dan selama penggunaannya di setiap masyarakat.
Bab 2
Teknologi dan Masyarakat
Teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat di mana teknologi tersebut dimanfaatkan. Tidak ada teknologi dalam sejarah dunia – dari penemuan api sampai domestikasi tumbuhan dan hewan, bioteknologi tradisional, Revolusi Industri dan Revolusi Hijau – terjadi di dalam ruang kosong. Oleh karena itu, ruang yang berbeda-beda di dalam masyarakat -- baik itu ruang ekonomi, politik, sosial, budaya atau pun etika – semuanya dipengaruhi oleh penggunaan dan diadopsinya sebuah teknologi, dengan sifat dan kecepatan yang berbeda-beda. Dalam sejarah manusia, inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berdampak pada relasi-relasi sosial-ekonomi dan kehidupan politik, sementara beberapa dampak tidak kasat mata dan dampak lainnya sangat jelas. Secara tidak kasat mata, penerapan pertanian mekanisasi selama periode Revolusi Hijau telah meningkatkan ketidakadilan di antara masyarakat pertanian skala kecil dan skala besar (Conway, 2003) dan menurunkan ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan di pertanian (Paris, 1998). Sebagai hasil penamanan padi yang intensif di bawah program Revolusi Hijau, rakyat pedesaan direstrukturisasi oleh lahirnya kelas ekonomi baru para pedagang yang mengkhususkan diri dalam perdagangan beras, dan buruh-buruh tani baru yang bekerja musiman di pertanian padi.
Demikian pula unsur-unsur masyarakat yang berbeda juga mempengaruhi bagaimana sebuah teknologi diadopsi dan disebarluaskan di dalam masyarakat.Tampaknya budaya, etika, dan agama berpengaruh yang sangat kuat dalam menentukan bagaimana teknologi diterapkan dan disebarluaskan dalam setiap masyarakat (lihat gambar 1). Dalam kasus transgenik, dimensi etika dan religius merupakan dua aspek yang sangat dominan di banyak negara di mana agama tetap menjadi kekuatan sosial. Contohnya, apakah transgenik dapat dipertimbangkan halal atau haram akan mewarnai perdebatan penerimaan publik dalam komunitas Muslim (Safian dan Hanani, 2005).
Bab 3
Pertimbangan Sosial-Ekonomi ‘Ditentukan’
Telah banyak upaya untuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya dimaksud pertimbangan Sosial-Ekonomi dalam konteks transgenik. Namun sejauh ini, upaya tersebut masih belum berhasil, dan beberapa kalangan menginginkan pertimbangan Sosial-ekonomi tersebut dihapuskan karena ‘sangat samar’ dan ‘secara keseluruhan berada di luar domain biosafety’. Bagi beberapa kalangan lainnya, pertimbangan Sosial-Ekonomi ‘tidak terkendali’, bahkan ‘tidak berguna’dan cara terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menangguhkan diskusi-diskusi, atau yang lebih parah mengabaikannya.
Seperti konsep-konsep berkembang lainnya, yang menentang definisi konkrit atau tepat, maka ‘pertimbangan sosial-ekonomi’ secara bebas digambarkan sebagai: ‘menempatkan keprihatinan dalam spekturm luas atas konsekuensi-konsekuensi bioteknologi yang aktual dan potensial, seperti dampaknya terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani, budaya, kehidupan masyarakat, tanaman dan varietas tradisional, pengetahuan dan teknologi domestik, ketenagakerjaan pedesaan, perdagangan dan persaingan, peran perusahaan-perusahaan transnasional, masyarakat asli, keamanan pangan, etika dan agama, manfaat bagi konsumen, dan gagasan tentang pertanian, teknologi serta masyarakat’ (Garforth, 2004). Elemen-elemen dalam definisi tersebut tidak mendalam atau statis. Beberapa pertimbangan sosial-ekonomi yang tidak tercakup dalam definisi tersebut akan lebih jauh dijelaskan secara rinci dalam buku ini. Tujuannya adalah untuk memberi pemahaman lebih baik tentang meluasnya isu-isu yang terdapat di dalamnya guna mendorong definisi istilah-istilah yang lebih konkrit di dalamnya, dan untuk mengembangkan perangkat pengkajian yang dapat digunakan oleh para pembuat peraturan dan masyarakat sipil guna meminimalkan atau menghapus dampak sosial transgenik yang berpotensi merusak.
Bab 4
Pentingnya Mengkaji Dampak Sosial-Ekonomi Transgenik
Kebutuhan untuk mengkaji potensi dampak sosial-ekonomi transgenik terkait dengan sejumlah alasan/nilai-nilai penting, yaitu:
Tanggung Jawab Sosial: Para ilmuwan yang mengembangkan dan memperkenalkan teknologi ke masyarakat perlu memperhatikan tanggung jawab moral dan etika akan dampak-dampak yang ditimbulkan dari inovasi mereka di masyarakat. Termasuk potensi dampak sosial-ekonomi teknologi tersebut jauh di luar laboratorium dan rumah kaca yang terkendali. Sejarah terakhir penerapan teknologi menekankan, peran para ilmuwan dan pengembang teknologi tidak selesai ketika teknologi tersebut keluar dari laboratorium, bahkan menjadi semakin penting ketika teknologi tersebut diterapkan di masyarakat.
Tanggung Jawab Antar Generasi: Tujuan sebuah teknologi harus menyumbang kepada pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tujuan ini terkait dengan tanggung jawab antar generasi dari para pengembang teknologi tersebut dan para pembuatan kebijakan pemerintah. Mengkaji dampak sosial-ekonomi transgenik tidak hanya akan menjamin bahwa dampak merusaknya dihapuskan atau setidaknya diminimalkan, tetapi juga dapat melindungi kepentingan dan kebutuhan generasi masa sekarang dan masa depan karena dampak sosial-ekonomi teknologi akan dirasakan dari generasi ke generasi.
Penerimaan Masyarakat: Dengan memberikan pertimbangan yang serius akan potensi dampak sosial-ekonomi transgenik, para pengembang dan pembuat kebijakan akan memiliki kepekaan lebih baik atas penerimaan masyarakat akan teknologi dan/atau produk-produknya. Di bagian selanjutnya, buku ini akan membahas lebih rinci bahwa kajian yang efektif mengenai potensi dampak sosial-ekonomi transgenik membutuhkan keterlibatan aktif dan luas dari berbagai tokoh masyarakat.
Mengurangi Biaya Jangka Panjang: Keprihatinan utama dalam pengkajian sosial-ekonomi transgenik adalah biaya yang terkait proses-proses dari luasnya partisipasi para pihak, pelaku, serta kurun waktu yang diperlukan untuk melalui proses-proses tersebut. Hal ini mungkin bisa menjadi keprihatinan yang benar dalam jangka pendek, namun mengabaikan kemungkinan biaya jangka panjang dari sebuah teknologi terhadap masyarakat yang muncul dari dampak merusak yang potensial. Oleh karena itu, dengan memasukkan pertimbangan sosial-ekonomi dalam pembuatan
keputusan tentang transgenik, maka biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak dapat ditarik kembali kemungkinan dapat dihapus atau diminimalkan.
Para pengembang dan pembuat kebijakan tidak dapat lolos dari dimensi etika dari penerapan transgenik tanpa mengkaji dengan hati-hati potensi dampak sosial-ekonominya. Berbeda dengan laboratorium dan rumah kaca di mana semua faktor dan kondisi berada dalam kendali para ilmuwan yang melakukan penelitian, kekuatan sosial dan ekonomi berada di luar kendali siapapun. Sehingga tanggung jawab etika sangat penting untuk memperkuat kebutuhan kajian mendalam mengenai pertimbangan sosial-ekonomi sebelum transgenik dilepas ke masyarakat.
4.1. Pertimbangan Sosial-Ekonomi dalam Relasi transgenik: Pengakuan Hukum
Karena kuatnya lobi-lobi oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sejumlah negara berkembang, khususnya kelompok Afrika, maka pertimbangan sosial-ekonomi ini secara resmi diakui Protokol Cartagena tentang Biosafety.
Artikel 26 Protokol tentang Pertimbangan Sosial-Ekonomi mencantumkan: ‘1. Para Pihak, dalam mencapai sebuah keputusan tentang impor di bawah Protokol ini atau di bawah langkah-langkah domestik yang menerapkan Protokol, dapat dilaksanakan, konsisten dengan kewajian internasional mereka, pertimbangan-pertimbangan sosial-ekonomi yang muncul dari dampak organisme hasil modifikasi terhadap konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, khususnya dengan memperhatikan nilai keanekaraaman hayati bagi komunitas asli dan komunitas lokal; 2. Para Pihak didorong bekerja sama dalam penelitian dan pertukaran informasi mengenai dampak-dampak sosial-ekonomi organisme hasil modifikasi, khususnya pada komunitas asli dan komunitas lokal.’
Protokol tersebut mengakui adanya pertimbangan sosial-ekonomi yang muncul dari transgenik, sehingga pertimbangan ini dapat dimasukkan dalam proses pembuatan keputusan, namun penelitian tentang pertimbangan sosial-ekonomi bukanlah syarat untuk pembuatan keputusan. Meski demikian, masyarakat internasional mengakui pertimbangan sosial-ekonomi merupakan komponen penting dalam proses pembuatan keputusan biosafety.
4.2 Pengkajian Dampak Sosial-Ekonomi (SEIA)
Untuk menjalankan ketentuan Protokol Biosafety tentang pertimbangan sosial-ekonomi, ada perangkat yang harus dikembangkan dan diterapkan untuk memandu keputusan pada penelitian, pengembangan, pergerakan dan penerapan transgenik. Sebuah alat yang punya potensi itu adalah pengkajian dampak sosial-ekonomi (socio-economic impact assessment/SEIA) yang diadaptasi dari alat-alat yang telah ada sebelumnya dan telah diadopsi dalam pengkajian dampak lingkungan.
SEIA dapat membantu mengkaji konsekuensi-konsekuensi yang berpotensi pada berbagai aspek masyarakat tempat sebuah teknologi diterapkan. Pada dasarnya, alat ini merupakan alat pengkajian partisipatif yang memetakan pengetahuan lokal dalam konteks masyarakat tertentu di mana sebuah teknologi baru akan diterapkan. Dengan partisipatif dan lintas disiplin, seperti memusatkan perhatian pada aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, dan etika, sebuah SEIA membutuhkan keterlibatan para pihak/pelaku yang berbeda dan keberagaman aspek-aspek di dalam kajian tersebut.
Secara keseluruhan, SEIA dapat membantu para pembuat kebijakan dan kelompok masyarakat sipil untuk mempertimbangkan manfaat potensial transgenik bersamaan dengan potensi risiko dan dampak-dampak merusaknya di lingkungan sosial-ekonomi yang berbeda-beda. Ada konsep tentang pengkajian dampak sosial-ekonomi yang sedang dikembangkan dalam konteks yang berbeda-beda. Contohnya Filipina telah menetapkan pentingnya SEIA dalam merancang sistem biosafety di tingkat nasional, meski sistem tersebut akhirnya tidak menjadikannya sebagai sebuah persyaratan wajib dalam pendaftaran pelepasan transgenik. Pengalaman Filipina menunjukkan, walaupun keberadaan konsep pengkajian dampak lingkungan yang telah ada yang dapat diambil sebagai pelajaran, namun pengembangan alat-alat kajian dampak sosial-ekonomi masih menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan, pembuat aturan dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Bab 5
Pertimbangan Sosial-Ekonomi: Apa yang Dikaji?
Luas dan dalamnya apa yang terdapat di dalam pertimbangan sosial-ekonomi cukup berlebihan terutama bagi mereka yang ingin mengkomersialisasikan teknologi rumit seperti transgenik semudah mungkin. Namun masyarakat adalah sebuah organisme kompleks yang berkembang dalam konteks khusus di mana lingkup ekonomi, politik, sosial, budaya dan etika secara konstan saling berhubungan satu sama lain dalam perilaku yang ruwet.
Bab ini mencoba mengenali beberapa komponen pertimbangan sosial-ekonomi dengan memaparkan judul-judul yang mewakili cakupan penting dari masyarakat dan wilayah khusus di setiap cakupan di mana transgenik dapat menimbulkan potensi dampak di dalamnya. Sebagai contoh, kebanyakan pengalaman dan observasi dari negara-negara berkembang akan digunakan untuk menggambarkan poin-poin penting dan keprihatinan kritis.
5.1 Pertimbangan Ekonomi
Pengendalian atas Alat-alat dan Relasi-relasi Produksi: Pengkajian potensi dampak sosial-ekonomi transgenik harus melibatkan isu-isu kontrol atas produksi pertanian dan relasi-relasi produksi dalam konteks tertentu di mana teknologi tersebut diterapkan. Dampak potensial diterapkannya transgenik dalam konteks pedesaan harus dipelajari dengan hati-hati, ingat pelajaran dari teknologi Revolusi Hijau yang memperbesar ketidakadilan pendapatan dan distribusi kekayaan di wilayah pedesaan meski terjadi peningkatan produksi beras dan jagung (Conway, 2003). Biaya tinggi input pertanian yang diterapkan Revolusi Hijau telah menjadikan input-input tersebut tidak dapat diakses oleh orang miskin pedesaan yang jadi terlilit hutang besar kepada kalangan elit pedesaan yang memegang kendali lebih baik atas alat-alat produksi meski sebelum teknologi baru tersebut diterapkan.
Dalam konteks tanaman modifikasi genetika, penguasaan atas benih dan input-input yang menyertainya yang melengkapi teknologi tersebut perlu menjadi pusat pertimbangan dalam kajian sosial-ekonomi. Pertanyaan penguasaan atas benih sama di tingkat yang berbeda-beda, dari kepentingan industri dalam pengembangan dan distribusi benih-benih modifikasi genetika, sampai ke saluran-saluran lokal penyebaran teknologi tersebut. Isu penting yang harus dikaji adalah: Apakah penyebarluasan benih-benih modifikasi genetika akan memberi peluang kepada petani miskin untuk memiliki kendali atas alat-alat produksi, atau apakah akan lebih jauh menempatkan
kelompok tertentu di dalam komunitas mengendalikan input-input pertanian, pemrosesan dan pemasaran? Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab, namun pelajaran dari pengalaman terkini tentang penerapan teknologi pertanian dan latihan simulasi dengan partisipasi perwakilan sektor-sektor penting dapat memberikan masukan penting.
Distribusi Pendapatan dan Kekayaan: Industri yang mengembangkan produk transgenik ingin menutup biaya investasi mereka pada penelitian dan pengembangan, melalui sistem hak kekayaan intelektual (HKI) dan skema marketing, dan dengan keuntungan dari penjualan produk-produk tersebut. Karena segmentasi harga adalah praktik bisnis yang tidak sehat, benih-benih transgenik biasanya dijual dengan harga standard di sebuah negara tempat benih-benih tersebut dikomersialisasikan, di mana harga yang sama berlaku untuk semua petani apakah ia kaya atau miskin.
Contohnya, di Filipina, MON 810 (jagung Bt dengan transformasi gen cry 1ab dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis) milik Monsanto dijual dengan harga dua kali lipat dari harga varietas benih jagung hibrida yang bukan hasil modifikasi genetika. Di negara yang sedikitnya 60% petani jagung tidak memiliki lahan yang mereka garap, harga ini sangat mahal. Dengan kenyataan pasar itu, Monsanto menerapkan skema pemasaran yang utamanya menawarkan produk-produk jagung Bt kepada para petani kaya dan berpenghasilan menengah yang mampu membayar lebih tinggi harga benih-benih tersebut sebagai jaminan atas kerusakan yang ditimbulkan penyakit penggerek jagung. Dengan jaminan klaim perusahaan, dengan membeli jagung Bt mereka akan mendapat manfaat yang dijanji-janjikan itu, maka pihak yang diuntungkan adalah para petani yang sanggup membayar harga benih dan mereka yang telah berpendapatan relatif tinggi untuk memulai usahanya. Kondisi ini diperkirakan akan memperhebat persoalan ketidakadilan pendapatan dan distribusi kekayaan di pedesaan. Sementara beberapa pihak berpendapat akan ada peningkatan pendapatan di kalangan petani kaya yang akan berkontribusi kepada investasi dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan, namun skenario tersebut sangat bergantung pada apakah janji-janji panen lebih baik dan pendapatan lebih tinggi dengan menanam tanaman hasil modifikasi genetika dapat menjadi kenyataan atau tidak. Pernyataan tersebut juga terkait dengan harapan keuntungan yang ‘menetes’ dari para petani yang akan mendapat keuntungan dari tanaman hasil modifikasi genetika ke petani yang tidak mampu membayar teknologi tersebut.
Keamanan Pendapatan: Pertimbangan ekonomi penting lainnya yang harus diperhatikan dengan serius adalah dampak transgenik pada pendapatan bersih petani. Analisis keuntungan biaya ekonomi akan bermanfaat dalam melihat praktik-praktik pertanian dan kondisi petani yang telah
mengadopsi teknologi tersebut. Pertanyaan mendasar tentang harga benih hasil modifikasi genetika dan input-input lain yang diperlukan serta andil semua itu dalam keseluruhan biaya produksi harus diperhitungkan, seiring dengan pendapatan bersih potensial (atau kerugian) yang diharapkan petani dari penggunaan benih-benih tersebut. Biaya tersembunyi seperti dampak terhadap lingkungan dan kesehatan juga harus dipertimbangkan.
Tenaga Kerja Pedesaan: Tenaga kerja pedesaan adalah salah satu keprihatinan ekonomi yang relevan, khususnya di negara-negara berkembang di mana pengangguran pedesaan yang menyebar luas merupakan masalah abadi. Umumnya benih hasil modifikasi genetika yang tersedia di pasar-pasar dikembangkan oleh industri bioteknologi berbasis kebutuhan dan kondisi petani di negara maju yang pertaniannya sebagian besar berskala industri. Kondisi industri pertanian, dengan biaya dan ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor produksi utama, sangat berbeda jauh dengan keadaan pertanian berbasis rumah tangga yang merupakan ciri pertanian di banyak negara berkembang di mana tenaga kerja tersedia dalam jumlah melimpah, dan seringkali murah harganya.
Contohnya, penerapan tanaman hasil modifikasi genetika yang tahan herbisida bisa menghapus kebutuhan untuk penyiangan dan penggarapan lahan saat persiapan lahan, dan akan menjadi dampak mematikan jangka panjang pada tenaga kerja pedesaan. Tenaga kerja yang dibutuhkan di pertanian akan berkurang karena tanaman tersebut akan mengurangi peluang kerja bagi buruh tani miskin, khususnya di pedesaan yang tinggi tingkat penganggurannya. Beberapa pihak berpendapatan, penggunaan benih hasil modifikasi genetika yang lebih mahal dari benih-benih konvensional tapi membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja akan membuat usaha tani lebih ekonomis daripada mempekerjakan buruh tani, karena mereka tidak hanya harus dibayar sesuai aturan upah yang berlaku namun standard-standard buruh pertanian juga harus ditaati dan diperhatikan. Argumen tersebut menguatkan dampak merusak potensial tanaman modifikasi genetika terhadap relasi sosial-ekonomi di pedesaan dan distribusi pendapatan secara keseluruhan. Hal ini menjadi masalah lebih besar bahwa penggunaan benih modifikasi genetika yang hemat tenaga kerja itu secara teoritis dapat menciptakan surplus ekonomi lebih tinggi yang akan berkontribusi kepada peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Namun kecenderungan global dalam penurunan investasi di pedesaan dan berkurangnya sumbangan pertanian kepada pendapatan nasional secara keseluruhan dari hasil pertanian tidak diinvestasikan kembali di sektor pertanian untuk bermanfaat bagi kaum miskin pedesaan.
Pasar: Karena harga komoditas pertanian sangat sensitif dan ditentukan oleh supply and demand, maka transgenik yang menjanjikan peningkatan panen dapat mempengaruhi perilaku pasar. Pihak
yang sangat rapuh adalah negara-negara berkembang yang perekonomiannya sangat tergantung pada produksi dan ekspor produk-produk pertanian tertentu. Contohnya, menghentikan produksi atau ekspansi kawasan yang diperuntukkan bagi produksi kapas Bt di Amerika Serikat atau India, dapat mempengaruhi pasar potensial kapas yang diproduksi di negara-negara Afrika Barat yang miskin di mana jutaan petaninya sangat tergantung pada budidaya kapas sebagai matapencaharian mereka. Karena komoditas hasil modifikasi genetika seperti kapas Bt dihasilkan besar-besaran untuk diproses menjadi bahan tekstil dan pakan hewan, maka kapas Bt tersebut tidak dipisahkan (disegregasikan) dari kapas konvensional, sehingga akan saling bersaing di pasar.
Bahkan pada kasus di mana transgenik dipisahkan (disegregasikan) dari varietas yang konvensional, seperti di Eropa dan Jepang yang tidak menerima komoditas hasil modifikasi genetika jika komoditas tersebut tidak diberi label, segregasi ini dapat membawa dampak potensial di pasar. Segregasi atau pemisahan, sementara menguntungkan dalam penyadaran konsumen, pelabelan yang serius dan sikap kehati-hatian dapat menciptakan segmentasi harga di mana produk-produk bukan hasil modifikasi genetika akan lebih mahal dan terutama ditujukan untuk pasar yang mampu membelinya. Di sisi lain, transgenik dapat disalurkan ke pasar yang kurang mampu atau ke pasar di mana segregasi tidak dibutuhkan menurut hukum yang berlaku. Argumen ini tampak masuk akal dari sudut pandang pasar murni, namun informasi segregasi harga akan sampai ke konsumen yang seharusnya sudah menjadi bagian dari hak mereka akan informasi.
Perdagangan: Satu dari isu-isu perdagangan yang perlu dipertimbangkan adalah kemampuan negara-negara berkembang untuk bersaing di pasar internasional jika mereka memutuskan untuk bertarung dalam produk-produk tanaman modifikasi genetika komersial. Untuk bersaing dengan komoditas dari negara-negara yang lebih besar dan lebih kaya di pasar ekspor, negara-negara berkembang harus dapat memenuhi standard-standard internasional yang tinggi seperti standard sanitary and phytosanitary (kebersihan dan kesehatan). Sementara tanaman modifikasi genetika menjanjikan dapat memecahkan masalah yang berhubungan dengan hama dan penyakit tertentu, kualitas produk tersebut sangat tergantung pada kondisi di mana produk tersebut dihasilkan dan praktik-praktik pengelolaan dalam kondisi tanaman tersebut tumbuh. Contohnya, kasus jagung dari Filipina. Masalah paling serius yang mempengaruhi tanaman ini adalah penyakit jamur yang mempengaruhi kualitas panen dan dapat menutup peluang untuk memenuhi standard internasional untuk ekspor. Sementara jagung Bt ini dijanjikan akan meningkat hasilnya karena serangan penggerek jagung berkurang sehingga surplus produksinya berprospek diekspor ke negara-negara lain, tetapi nyatanya tidak satupun varietas jagung Bt yang secara komersial tersedia di pasar lokal terbukti dapat mengatasi serangan jamur (berpengaruh negatif pada kualitas dan keseluruhan
produksi jagung secara lokal). Ketatnya sistem sanitary dan phytosanitary secara internasional atas jagung impor dan proses pengkajian risiko yang dibutuhkan di pasar-pasar industri penting, berasal dari kerasnya penolakan konsumen akan transgenik, sehingga prospek jagung modifikasi genetika Filipina untuk ekspor tidak begitu menjanjikan.
Hidup Berdampingan (koeksistensi) dan Pencemaran transgenik: Risiko berpindahnya benangsari pada tanaman yang melakukan penyerbukan silang, seperti jagung dan kanola, sangat besar. Para petani tanaman organik berisiko menemukan tanaman mereka tercemar oleh tanaman modifikasi genetika yang tumbuh di sekitarnya, karena benangsari dapat berpindah dan menempuh perjalanan jauh akibat terbawa angin atau berkat bantuan serangga. Koeksistensi sebagai sebuah kebijakan sangatlah menantang. Bukti-bukti menunjukkan kenyataan tanaman konvensional tercemar transgenik, meski tanaman transgenik itu ditanam secara eksperimental dalam skala terbatas dan belum disetujui untuk penanaman komersial. Keadaan ini akan semakin ruwet di negara-negara berkembang, karena kepemilikan lahan mereka lebih kecil dan jarak antar lahan pertanian lebih dekat. Pencemaran transgenik pada tanaman konvensional, kerabat liar dan kerabat gulmanya, menimbulkan ancaman serius pada keanekaragaman hayati dan sumber genetika untuk keamanan pangan jangka panjang. Selain itu juga ada risiko pada prospek ekonomi yang diharapkan negara dan petani yang ingin memanfaatkan budidaya organik produk-produk pertanian.
Pertanian Organik: Di negara-negara di mana transgenik dikomersialkan secara legal, prospek petani untuk terjun ke pertanian organik mungkin akan terbatas akibat meluasnya budidaya tanaman modifikasi genetika. Beberapa literatur menyebutkan adanya sebuah konsensus bahwa dampak berbahaya yang paling nyata dan berpotensi dari transgenik adalah pengaruh langsung transgenik pada pertanian organik melalui pencemaran. Hal ini telah menjadi isu kontroversial di Amerika Serikat dan Kanada di mana lahan-lahan pertanian organik telah tercemar oleh transgenik dan beberapa petani telah mengajukan tuntutan hukum atas kerusakan yang ditimbulkannya (Nature Biotechnology, 2002; SOS Food, 2002).
Sebagai sektor yang paling berkembang pesat di pertanian seluruh dunia, belakangan ini produk-produk pertanian organik semakin penting bagi perekonomian di negara-negara berkembang (Patton, 2006). Standard-standard sertifikasi organik umumnya tidak membolehkan kandungan transgenik, dan produk-produk pertanian yang mengandung sejumlah partikel kecil transgenik pun tidak berhak mendapat label organik. Jika terjadi pencemaran tanaman organik, para petani akan kehilangan status sertifikasi organiknya dan kehilangan tanaman dan harga premium yang dimilikinya.
Keamanan Pangan: Bagi negara-negara berkembang di mana pertanian merupakan kegiatan utama untuk menjamin subsistensi keluarga dan penyedia pangan untuk pasar domestik, fokus ekonomi yang perlu dipertimbangkan adalah dampak potensial transgenik untuk keamanan pangan jangka panjang. Sebagian besar komersialisasi transgenik ke seluruh dunia tidak dianggap sebagai tanaman pangan di negara-negara berkembang yang menempatkan keamanan pangan sebagai fokus pengembangan pertanian. Umumnya jagung, kedelai dan kapas hasil modifikasi genetika dibudidayakan dan diperdagangkan ke seluruh dunia sebagai pakan hewan. Dengan budidaya tanaman modifikasi genetika di negara-negara berkembang, keamanan pangan rumah tangga menghadapi ancaman konversi lahan pertanian yang ditanami secara tradisional sebagai tanaman pangan menjadi tanaman yang diproduksi untuk industri dan ekspor. Selain itu, banyak negara miskin, bahkan negara berpenghasilan menengah mengalami kurang gizi walaupun terjadi peningkatan produksi pertanian. Hal ini terutama disebabkan keseragaman tanaman dan erosi basis-basis pangan tradisional sebagai pasokan keseimbangan dan kandungan gizi bagi anggota keluarga. Pengkajian dampak sosial-ekonomi harus memperhatikan dampak luasnya promosi tanaman hasil rekayasa genetik untuk keperluan industri terhadap keamanan pangan komunitas akibat keterbatasan lahan dan berkurangnya produktifitas lahan pertanian karena produksi yang intensif.
Bantuan Pangan: Menjamin keamanan pangan jangka panjang tetap menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang. Namun banyak negara miskin dihadapkan pada keadaan darurat yang menghambat para petani untuk menghasilkan pangan mereka sendiri, terutama di daerah-daerah yang dilanda perang, konflik, bencana alam, kekeringan dan kelaparan. Dalam keadaan darurat ketika negara-negara harus bergantung pada bantuan internasional untuk kelangsungan hidup rakyatnya, seringkali kedaulatan ekonomi dikalahkan. Contohnya, isu-isu tentang adanya transgenik dalam bantuan makanan mencuat beberapa tahun yang lalu ketika negara-negara Afrika dilanda kekeringan dan kelaparan, maka Zambia, Mozambique dan Zimbabwe secara resmi menolak bantuan pangan yang dibawa oleh Program Pangan Dunia PBB (World Food programme/WFP) ke negara-negara tersebut karena jagung yang dikapalkan dari Amerika Serikat mengandung transgenik. Khususnya Zambia, negara ini bersikap tegas dan mengumumkan bahwa keputusan penolakan itu dibuat berdasarkan tanggung jawab negara untuk melindungi kesehatan rakyat dan demi keutuhan lingkungannya (Manda, 2003). WFP harus menghormati sikap Zambia, dan kontroversi tersebut mendorong lembaga pangan itu menentukan sikap dalam menghimpun bantuan pangan dari sumber-sumbernya agar bantuan pangan itu terjamin bebas dari transgenik kapanpun memungkinkan dan tersedia.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI): Isu HKI telah mendapat perhatian yang luas dan menjadi pokok perdebatan hangat di tingkat internasional. transgenik dan produk-produk modifikasi genetika yang telah tersedia secara komersial, bahkan yang masih dalam tahap pengembangan pun, dilindungi oleh HKI yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga yang mengembangkannya. Kepemilikan Perusahaan-perusahaan atas produk-produk itu menjadi fokus diskusi tentang siapa yang mengendalikan teknologi dan pemusatannya di tangan industri yang secara langsung membentuk relasi-relasi ke produksi dan penguasaan produksi di masyarakat.
Keprihatinan atas dampak HKI pada transgenik melampaui lingkup ekonomi. Dampak HKI pada akses publik ke pengetahuan dan inovasi teknologi masih jauh dari harapan. HKI menghambat aliran bebas informasi, pengetahuan, dan materi genetika yang menjadi dasar penelitian dan pengembangan di lembaga-lembaga publik. Kepemilikan hak pengendalian atas penggunaan teknologi sangat membatasi lembaga-lembaga publik yang berpotensi melakukan penelitian untuk kepentingan orang miskin yang tidak dianggap sebagai pasar menguntungkan untuk produk industri.
5.2 Pertimbangan Sosial
Dampak atas Hak-hak Petani menyimpan benih: Dampak potensial transgenik pada praktik-praktik tradisional petani dalam menyimpan, menggunakan ulang, berbagi, saling mempertukarkan dan menjual benih yang disimpan merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam kajian dampak sosial-ekonomi teknologi. Hal ini khususnya relevan di negara-negara berkembang di mana para petani menyimpan benih secara tradisional dan melakukan pertukaran bebas bahan-bahan tanaman, yang mungkin tidak menjadi masalah di negara-negara maju di mana pertanian industri merupakan sistem pertanian yang dominan. Praktik-praktik petani menyimpan benih secara tradisional ini diakui sebagai landasan keragaman genetika luar biasa dalam pertanian masa kini. Oleh karena itu, pengembangan-pengembangan yang membatasi praktik ini, misalnya penerapan kaku sistem HKI pada benih, dipandang sebagai ancaman potensial bagi keamanan pangan jangka panjang masyarakat pedesaan khususnya dan bagi negara-negara umumnya.
Hak melekat petani untuk menyimpan dan mempertukarkan benih secara hukum dilindungi oleh International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agricultural (ITPGRFA) di bawah Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Pemerintah dipercayakan untuk melindungi hak-hak petani melalui peraturan-peraturan di tingkat nasional, sebuah tugas yang tidak mudah bagi banyak negara yang juga berkomitmen melindungi HKI industri benih di bawah kesepakatan perdagangan
internasional seperti the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meskipun ada fleksibilitas di dalam kesepakatan TRIPs, hanya sedikit negara yang telah menjalankan kemauan politiknya untuk melindungi hak-hak petani akan benih seraya memberikan pengakuan atas hak-hak yang dimiliki industri atas inovasi mereka.
Bagian dari hak-hak petani untuk menyimpan dan mempertukarkan benih adalah hak petani untuk membuat keputusan atas pertanian mereka. Potensi transgenik yang akan lebih jauh menciptakan ketidakadilan di pedesaan dan meminggirkan petani miskin juga memiliki dampak jangka panjang pada kemampuan para petani untuk memutuskan apa, kapan, dan bagaimana menanam di lahan mereka. Pengalaman selama Revolusi Hijau menunjukkan bagaimana teknologi intensif modal ini menambah ketergantungan pada para penyedia input pertanian di kalangan petani miskin yang tidak punya modal untuk mengadopsi sebuah teknologi baru.
Dampak terhadap Perempuan: Dampak teknologi baru terhadap perempuan dan peran gender secara umum harus diperhatikan. Sejarah terkini dari penerapan teknologi pertanian modern menunjukkan bagaimana perempuan pedesaan semakin jauh terpinggirkan dan peran mereka menjadi semakin tak tampak akibat inovasi-inovasi yang secara umum dirancang untuk laki-laki (Paris, 1998). Pada kasus jagung tahan herbisida yang dirancang untuk menghapus kerja-kerja buruh menyiangi gulma, perempuan tersingkirkan karena penyiangan gulma adalah salah satu pekerjaan utama mereka dalam budidaya jagung, seperti di Filipina. Hal ini dapat mengurangi beban perempuan dalam pertanian jagung, namun peran mereka hilang ketika laki-laki mengambil alih peran utama membuat keputusan varietas apa yang akan ditanam.
Keprihatinan Konsumen: Benih-benih modifikasi genetika, artinya biaya input lebih tinggi di sisi produsen, dan janji-janji teknologi untuk memberikan produk yang lebih murah kepada konsumen karena produksinya lebih tinggi dan efisien. Harga sangat berarti bagi konsumen, khususnya di negara-negara berkembang, namun harga bukan hanya faktor yang menentukan tanggapan konsumen atas produk-produk baru yang dilempar ke pasar. Penerimaan konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan etika, dan sudut pandang pada kesehatan dan keselamatan lingkungan produk tersebut. Hal ini menjadi paling relevan dalam kasus transgenik seperti yang terjadi belakangan ini ketika sejumlah negara maju dan negara berkembang seperti Jepang, Thailand, dan Korea Selatan mengikuti tren di Eropa yang mempersyaratkan label pada transgenik. Sementara konsumen di negara-negara industri umumnya kurang menerima transgenik, konsumen di negara-negara berkembang juga dapat menuntut hak mereka untuk memilih.
Bab 6
Melembagakan SEIA
SEIA sebagai alat untuk membuat keputusan tentang persetujuan dan pelepasan transgenik harus dilembagakan di dalam proses-proses biosafety di suatu negara. Lembaga-lembaga khusus pemerintah yang bertanggung jawab untuk menerapkan proses-proses SEIA harus diidentifikasi dan mandat mereka harus secara jelas dirumuskan. Pemerintah dapat memutuskan untuk menghubungkan badan-badan biosafety atau agen-agen khusus yang telah ada, lembaga-lembaga independen seperti kalangan akademisi, atau menciptakan badan khusus untuk tujuan-tujuan tersebut. Sebagai contoh, di Filipina di mana kajian dampak sosial-ekonomi tidak menjadi kewajiban, maka lembaga-lembaga yang ada bertanggung jawab untuk dilibatkan dalam pembuatan keputusan biosafety.
Agar menjadi alat yang efektif untuk pembuatan keputusan, SEIA perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan dan proses-proses pembuatan keputusan biosafety, seperti kerangka biosafety nasional, kebijakan atau undang-undang tentang biosafety di sebuah negara. SEIA tidak boleh menjadi sebuah proses tunggal, namun merupakan sebuah unsur yang menyatu dari pembuatan keputusan biosfety. SEIA tidak boleh dibatasi pada kajian setelah keputusan atas transgenik dibuat, namun harus diintegrasikan ke dalam tahap-tahap yang berbeda dalam proses biosafety – dari percobaan-percobaan tertutup, ke ujicoba lapang terbatas sampai tahap sebelum transgenik tersebut dilepas secara komersial. Para pembuat kebijakan harus mengingat bahwa banyak konsekuensi sosial-ekonomi transgenik mungkin tidak dapat ditarik kembali dan tidak bisa berada dalam kendali siapa pun begitu produk tersebut disebarluaskan ke masyarakat dan diadopsi.
Bab 7
Kajian Dampak Sosial-Ekonomi: Prinsip-prinsip Panduan
Agar efektif dalam memandu pembuatan keputusan mengenai transgenik, SEIA perlu memasukkan prinsip-prinsip penting berikut ini:
Pendekatan ‘Bottom-up’: SEIA merupakan sebuah pendekatan yang bersifat bottom-up, yang melibatkan pelaku-pelaku yang mungkin terpengaruh oleh dampak potensial transgenik. Sebagai sebuah pendekatan bottom-up, SEIA melibatkan partisipasi luas berbagai pelaku dalam masyarakat yang mungkin paling terpengaruh oleh transgenik, yang dapat berbeda menurut sifat produknya. Contohnya, dalam kasus benih hasil modifikasi genetika, para petani adalah pihak yang paling menanggung biaya atau mendapat manfaat, sehingga mereka dapat memainkan peran terbesar dalam SEIA.
Berdasar atas Kesadaran Publik: Partisipasi aktif hanya dapat diharapkan dari masyarakat yang mendapat informasi, yang menyadari pentingnya peran pemerintah dan masyarakat sipil dalam menyediakan informasi yang seimbang dan menjelaskan isu-isu tersebut kepada publik.
Transparansi dan Akses Publik kepada Informasi: Partisipasi dalam pembuatan keputusan sangat ditentukan oleh kepercayaan dan keyakinan publik kepada pemerintah yang memulai proses-proses tersebut. Kepercayaan dan keyakinan publik, pada gilirannya akan diperoleh pemerintah yang bekerja secara transparan dan bertanggung jawab, selain itu mekanisme-mekanisme yang tepat perlu dijalankan pula sehingga masyarakat memiliki akses ke informasi mengenai status persetujuan dan berdasar keputusan yang dibuat oleh para pembuat undang-undang.
Menyediakan Teknologi Alternatif dan Pilihan-pilihan: Upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran harus diteruskan untuk memperluas cara pandang publik atas teknologi-teknologi dan praktik-praktik lainnya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang sama seperti yang dibidik transgenik tertentu. Informasi yang tersedia untuk publik tidak boleh dibatasi semata oleh skenario ya atau tidak, namun juga harus memberikan masukan atas alternatif-alternatif teknologi untuk transgenik.
Kajian Multi Disiplin: Dengan jelas SEIA menerapkan kajian multi disiplin dan peran ilmuwan sosial dalam SEIA sangat terbatas untuk memfasilitasi proses-proses dan memberikan masukan yang perlu guna memberikan konteks yang tepat kepada diskusi-diskusi dengan berbagai pelaku.
Mengintegrasikan ke dalam Pembuatan Keputusan Biosafety dan Kerangka Kajian Teknologi: SEIA harus dipertimbangkan sebagai bagian terintegrasi dari keseluruhan paket pembuatan keputusan biosafety di setiap keadaan, bukan sebagai sebuah proses tunggal. SEIA harus secara jelas diakui, seperti dalam kerangka biosafety nasional, peraturan, dan undang-undang.
Mengembangkan Perangkat Kajian Keadaan tertentu: Para pembuat kebijakan perlu mengembangkan alat kajian dampak sosial-ekonomi untuk keadaan tertentu dengan masukan-masukan dari para pelaku yang berbeda. Secara umum, proses yang terjadi di dalam SEIA dan bagaimana proses tersebut diterapkan sesungguhnya pada kenyataannya akan menentukan kredibilitas upaya ini sebagai dasar pembuatan kebijakan tentang transgenik.
Daftar Acuan
Conway, G (2003). From the Green Revolution to the Biotechnology Revolution: Food for Poor People in the 21st Century (Dari Revolusi Hijau ke Revolusi Bioteknologi: Pangan untuk Rakyat Miskin di abad 21). Woodrow Wilson International Center for Scholars Directors’ Forum, 12 Maret 2003.
Garforth, K (2004). Socio-Economic Considerations in Biosafety Decision-Making: An
International Sustainable Development Law Perspective (Pertimbangan Sosial Ekonomi dalam Pembuatan Keputusan Biosafety: Perspektif Hukum Internasional Pembangunan Berkelanjutan. Kertas Kerja CISDL yang dipersiapkan untuk Pertemuan Biosafety - International Development Research Center - World Conservation Union, Colombo, Sri Lanka, 12-14 Oktober.
La Vina, A and Fransen, L (2004). Integrating Socio-Economic Considerations into Biosafety Decision: The Challenge of Asia (Mengintegrasikan Pertimbangan Social Ekonomi kepada Keputusan Biosafety: Tantangan Asia). Makalah dibuat International Development Research Center (IDRC) untuk pertemuan Biosafety IUCN-IDRC di Kolombo, Sri Lanka, 12-14 Oktober 2004.
Manda, Olga (2003). ‘Controversy Rages Over GM Food; Zambia, Citing Health Concerns, Bars Genetically Modified Grains (Kontroversi Kemarahan atas Pangan Transgenik: Zambia, Mengutip Sisi Kesehatan, Menghalangi Butiran Transgenik)’. African Recovery.Vol.6. No.4, Februari 2003.
Nature Biotechnology (2002).Organic Farmers Sue transgenik Producers (Petani Organik
Menuntut Produsen Transgenik). Maret.
Paris, Thelma R (1998).’Technology and Policy Needs of Poor Women in Asian Rice Farming
(Teknologi dan Kebijakan yang Diperlukan oleh Perempuan Petani dalam Pertanian Padi di Asia)’. Gender, Technology and Development, Vol.2, No.2 (187-218).
Patton, D (2006). ‘Asia’s Organic Food Industry Coming of Age (Kematangan Industri Pangan Organik Asia)’. AP-Food Technology Com, 19 Desember 2006. http://www.ap-foodtechnology.com/news/ng.asp?id=72907-organic-monitor-organic-bird-flu-soy
Safian, M and Hanani Y (2005). Islam and Biotechnology: With Special Reference to Genetically Modified Foods (Islam dan Bioteknologi: dengan Referensi Khusus pada Pangan Modifikasi Genetik). ‘Makalah disiapkan untuk Ilmu dan Agama: Perspektif Global’. Philadelphia, PA, USA, 4-8 Juni 2005.
SOS Food (2002). Organic Farmers Apply for Class Certification in Lawsuit Against Transgenic Giants. 20 Desember 2002. http://www.sixthstreetcenter.org/sosfood/ m_canadian_lawsuit.html
-----------------------------------------------------
Pertimbangan sosial-ekonomi, budaya dan etika yang berhubungan dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika (genetically modified organisms/transgeniks) merupakan aspek penting. Namun pertimbangan ini hanya mendapat sedikit perhatian dibandingkan risikonya terhadap lingkungan, kesehatan dan keanekaragaman hayati. Buku kecil ini memaparkan beberapa dampak potensial transgenik terhadap sosial-ekonomi dan mendesak agar dampak tersebut diperhatikan karena memiliki konsekuensi serius dan berskala luas.
Penulis menyerukan diterapkannya kajian dampak sosial-ekonomi sebagai alat untuk memandu keputusan-keputusan pada penelitian, pengembangan, penggunaan dan pelepasan transgenik, sebelum dan selama transgenik tersebut dilepaskan. Kajian ini merupakan alat yang partisipatif dan lintas disiplin yang memetakan pengetahuan lokal dalam konteks masyarakat tertentu di mana teknologi baru akan diterapkan, guna membantu para pembuat kebijakan mempertimbangkan manfaat potensial dan risiko transgenik ke lingkungan sosial-ekonomi yang berbeda-beda. Agar menjadi alat yang efektif untuk pembuatan kebijakan, kajian dampak sosial-ekonomi ini harus diintegrasikan dengan kebijakan dan proses-proses biosafety.
------------------------------------------------------
Elenita C. Dano adalah peneliti independen di Davao City, Filipina. Ia melakukan penelitian yang ekstensif dalam kerja pembangunan, khususnya isu-isu yang mempengaruhi konservasi dan pengembangan sumberdaya genetika tumbuhan berbasis komunitas di Asia Tenggara. Makalah ini ditulis ketika ia bekerja sebagai Associate paruh waktu pada Third World Network, terutama melakukan kerja-kerja untuk isu pertanian berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan biosafety.
Seri Bioteknologi & Biosafety, adalah seri makalah yang diterbitkan oleh Third World Network yang bertujuan memberikan pemahaman mendalam pada publik tentang aspek-aspek ekologi dan keselamatan bioteknologi baru, terutama rekayasa genetika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar