Kamis, 29 Desember 2011

pengalaman hidup



Solo Hiking – 23 Juni 2011

June 26, 2011 Setiap orang pasti memiliki jiwa Bolang (bocah petualang) dalam dirinya. Sekedar berpetualang untuk mengisi waktu, mencari pengalaman, atau alasan lainnya. Dan malam Jumat kemarin, jiwa Bolangku telah memanggil untuk hiking ke puncak tangkuban perahu, sendirian. :D .

Tahu film 127 hours, film itu mungkin yang menginspirasi pertama kali untuk melakukan solo hiking. Di film yang diangkat dari kisah nyata itu, pemeran utamanya melakukan solo hiking.
Menonton film tersebut dan ikut merasakan kisahnya, menimbulkan perasaan yang berbeda dengan hiking yang pernah saya lakukan, it`s feel so much more insecure doing solo hike, real adventure. Tampak seperti bermain roller coaster tanpa pengaman. Seruu. And yes, i am an adrenaline junkie.
Hitungan bulan, niatan itu menguap, sampai ada pengaruh kedua. Adalah cerita seorang teman solo trip malam hari ke Garut kemarin selasa ini. Begitu dengar kata solo trip, langsung teringat niat melakukan solo hiking.
Akhirnya sebagaimana bang napi bilang, bukan hanya karena niat tapi karena kesempatan, begitu juga nasib solo hiking ini. Baru hari Kamis ini akhirnya bisa jam 5 sore saya sudah sampai di rumah, gentleman start your engine! Plan : Power nap -> Maghrib -> Survey -> Isya -> Makan malam -> Berangkat!

Sehabis sholat Maghrib, saya mulai survey target pendakian, tampaknya puncak Tangkuban Perahu lewat jalur Jayagiri cukup aman dan saya temukan beberapa blogger sudah pernah melakukan solo hiking disini, juga malam hari.
Kemudian survey rute. Hasil googling, ditambah ym dengan beberapa teman, kesimpulan ada dua rute yang bisa diambil, dari Jaya giri tembus langsung ke Menara Petir (butuh waktu sekitar 3 jam) atau dari hutan Pinus Jayagiri tembus ke parkir bus Tangkuban Perahu (sekitar 3 jam juga, tapi masih dilanjutkan menyusuri jalan ke puncak).
Selesai makan malam, langsung packing kilat. Ransel yang siang harinya diisi laptop langsung berganti isi : p*cari sw**t 2 lt, ponco, sendal, 3 pasang kaos kaki, 2 kaos ganti…, sudah.
Baru sadar, ternyata saya tidak punya senter dan sleeping bag. Kupluk, sarung tangan dan matras *yang masih digunakan waktu hiking terakhir – sekitar hampir setahun yang lalu :D * juga ntah kemana. Mau bongkar lemari, nanti orang rumah curiga.. Ahh,, nanti menyewa saja. Cek isi dompet, ada 100rb, sangat cukup. :)
Jam 8 lewat sedikit, perjalanan dimulai. Berangkat dari rumah naik motor, tujuan pertama ke “tend*ku”, tempat persewaan alat2 satu-satunya yang saya tau. Sampai sana ternyata tutup. Oke, nanti beli saja (Pinjam bukan opsi, karena rencananya sebisa mungkin tidak ada yang tahu tentang trip ini), lagipula sekalian beli konsumsi, pikirku.
Sampai di B*rma Setiabudi ternyata uang 85rb yang dibawa nampak sangat kurang (dijalan sempat mengisi bensin 15rb). Rasanya seperti ibu-ibu yang belanja bulanan saja, harus pintar2 pilih item belanjaan yang mana yang benar-benar bermanfaat.
Akhirnya, inilah daftar belanjaan saya : senter + baterai (ini wajib), sarung tangan (karena selain penghangat, bisa buat pelindung saat harus berpegangan pada tanaman), doublem*nt (kunyah2 biar lupa capeknya), dan 2 bungkus “Snick*rs” 55gr (coklat dengan kalori/rupiah yang paling besar disitu :D ). Total belanja 65rb rupiah.
Sampai di gerbang depan jayagiri, sepi.. tidak sesuai harapan. Minimal ada yang nongkrong di loket, kek. Atau setidaknya satu dari jejeran warung di depan sana masih buka, untuk nitip motor juga, hehe. Bingung taruh motor dimana, akhirnya motor diparkirin ngasal di pinggir salah satu warung.
Setelah memarkir motor, saya lalu menyalakan hp sebentar buat lihat jam. Jam 09.12. Disebelah jam terlihat juga, batery low 10%, hp langsung saya matikan lagi. Lucu juga ya, disamping persiapan yang sangat seadanya, ternyata saya masih terpikir untuk menghemat baterai hp untuk kondisi emergency, tapi toh akhirnya mati juga. :D

Jalanan di daerah gerbang masuk Jayagiri cukup lebar, dapat dilewati motor dari 2 arah. Didalam kawasan itu, juga masih dapat dijumpai rumah2 bambu, jalanan masih berpenghuni. Barulah 5-10 menit dari memasuki gerbang kawasan Jayagiri, trek menyempit, cahaya juga semakin gelap karena pohon semakin tebal.
Saya jadi ingat apa yang saya baca tadi, hutan Jayagiri katanya berhantu. ^^, tapi sepertinya suara gonggongan anjing yang sudah terdengar sejak memarkir motor tadi masih terasa lebih menyeramkan.
Saat memasuki jalan hutan itulah timbul pertanyaan, “What i am i doing right now? I think its much better to go back”. Yup, saat itulah goodaan terbesar untuk kembali, mungkin karena masih dekat dengan motor, mungkin juga karena panic attack mendengar gonggongan anjing yang rasanya kok semakin keras saja. Terpikir juga sih bagaimana jika bertemu sekelompok anjing hutan di trek sesempit itu, i really dont have a chance to run.
Dari situ saya teringat, hutan ini bagaikan hidup, kita tidak bisa berfikir terlalu keras untuk terus menganalisa resiko, yang perlu kita lakukan adalah berjalan maju dan berharap sambil berdoa untuk mendapat yang terbaik. So, i pray a lot and it`s work! I dont meet any of these creature, neither that creature nor “soft” creature. :D .
Trek sampai ke pos terakhir hutan Jayagiri, yaitu lapangan dengan warung bambu di dekat puncak Jayagiri, tidak banyak percabangan. Sesampainya di pos tersebut saya menyalakan hp, jam 10.20. Disitu istirahat dulu kira-kira 1-2 menit, sebelum memasuki daerah yang penuh percabangan, menuju puncak tangkuban perahu.
Tidak lama setelah meneruskan perjalanan, saya sampai perempatan dengan lintasan off-road yang saya sudah baca sebelumnya di sebuah blog, belok kiri ke Cikole, lurus atau kanan ke tangkuban. Saya memilih lurus, dan kembali masuk ke hutan.
Tidak seperti sebelumnya, trek hutan disini memiliki banyak persimpangan. Karena tujuannya langsung ke puncak, jadi setiap ada persimpangan, saya pakai algoritma greedy, jalur paling menanjak curam yang dipilih. Dari situ baru sadar, how bad my navigation skill is, if not nothing. :D .
Untungnya setelah jalur semakin curam, mungkin saat telah berjalan sekitar 2 jam, saya mulai melihat tanda2 dari pendaki sebelumnya, seperti batang-batang tanaman yang patah atau batang pohon terkikis. Alhamdulillah, I am on the right track. :) .
Jalur pendakian semakin curam, udara semakin dingin, vegetasi sudah berbeda, saya menemukan satu bunga yang menarik, warnanya putih dan sebesar tangan orang dewasa, bau belerang semakin tercium pekat, saya sudah merasa puncak sudah semakin dekat.
Benar saja, pukul 11.47 saya melihat jelas bangunan tertinggi di gunung tangkuban perahu : Menara petir. Sebenarnya udara yang dingin di puncak sangat membujuk untuk mampir ke dalam bangunan itu, tapi saya putuskan untuk melihat sekitar bangunan itu terlebih dahulu.
Tepat disamping menara petir, ternyata terdapat gubuk bambu tanpa tembok. Seperti saung, tetapi lantainya terbuat dari semen.

Panas tubuh sehabis mendaki membuat saya merasa kuat untuk tidur saja di saung itu, tanpa sleeping bag, tanpa matras. Apalagi disini saya dapat tidur sambil menikmati bulan yang saat itu berbentuk setengah dan bintang-bintang. Damn it`s so beautiful. :) .
3 kali saya tidur disaung itu, totalnya mungkin hanya 1 atau 1 1/2 jam. Tepatnya saya tidak tahu karena di puncak tidak punya penunjuk jam lagi, hp saya telah mati ketika akan mengambil foto saung.
Saya mengetahui kira-kira berapa lama disana dari “radio dangdut indonesia” yang memutar acara 11-2 pagi yang terdengar sayup dari dalam menara petir. Dan ketika saya bangun untuk ketiga kalinya dan memutuskan untuk turun gunung, acara tersebut masih diputar.
Saya tidur dan terbangun 3 kali. Untuk tidur pertama, saya melepas kaos kaki dan sarung tangan sebelum tidur, dan mengganti kaos yang penuh peluh dengan kaos lengan panjang, tentunya tetap mengenakan jaket. Baru tidur sebentar saja, sudah terbangun kedinginan.
Sebelum mencoba tidur untuk kedua kalinya, kaos tangan saya pasang kembali, juga saya menggunakan kaos kaki rangkap 2. Kemudian saya eksplor semua barang bawaan di dalam tas. Kaos yang digunakan mendaki saya keluarkan lagi, sekarang berguna sebagai syal. Saya ambil juga kaos ganti satu lagi, untuk menutupi sebagian besar kepala saya, pengganti kupluk. Saya minum p*cari sw**t untuk menambah kalori, dan tidur lagi. Nyenyak…
Tapi masih tetap terbangun.
Sekarang saya sudah kehabisan ide untuk melawan dinginnya udara di puncak. Air minum yang dikeluarkan dari tas dan tidak dimasukan kedalam tas lagi saat terbangun pertama kali, sekarang sudah sedingin air kulkas. Saya ingin makan Snick*rs untuk menambah lagi kalori, tapi tidak jadi, hemat beibb…
Karena dari 2 bungkus yang dibawa sekarang tinggal satu, satu lagi terjatuh ketika mendaki.
Kesal, tapi Alhamdulillah, hanya Snick*rs yang jatuh. Akhirnya saya paksakan untuk tidur lagi dengan kondisi persis dengan tidur kedua dan benar hanya sanggup tidur sebentar saja.

Karena selalu terbangun oleh dinginnya udara di puncak, ditambah sedikit khawatir dengan bau belerang yang menemani saya tidur, saya memutuskan untuk turun gunung saat itu saja.
Ternyata rute turun gunung lebih membingungkan untuk saya. Algoritma greedy mencari yang jalannya paling menurun tidak dapat digunakan, saya sering mendapati dalam percabangan, semuanya jalan setapaknya menuju ke atas. Crap, i lost many time.
Akhirnya saya jalan konsisten saja menjauhi posisi bulan, karena ketika menanjak ke puncak saya mendapati bulan persis dihadapan.
Karena terus menerus tersasar, Jalan menurun yang sebenarnya mempercepat langkah saya, ternyata justru ditempuh hampir 2 kali lebih lama. Setelah lama berjalan saya baru kembali menemukan kelompok bunga putih yang rasanya tidak jauh dari puncak saat mendaki tadi.
Akhirnya setelah sekitar 2 jam berjalan menuruni gunung melewati jalan setapak, saya menemukan jalur berbatu/aspal rusak yang saya kira jalan wisata tangkuban perahu. Tidak mau ambil resiko, saya kemudian mengikuti saja jalur menurun yang lebar itu, sambil menikmati pemandangan lampu kota, Lembang atau Bandung, I am not so sure. :D
Saya mendengar suara adzan subuh saat masih di tengah hutan, mengikuti jalan itu. Akhirnya saya tahu persis jam berapa sekarang. Tak berapa lama setelah adzan, saya dapat melihat jalan ini jauh didepan akan berbelok ke kiri, dan ada jalan setapak di hutan pinus di kiri jalan yang cukup mudah untuk dilewati, jalan pintas sepertinya.
Setelah menyusuri hutan pinus yang indah itu, akhirnya saya melihat cahaya, Wow, itu pasti gerbang wisata tangkuban perahu. Ketika keluar dari hutan, TET-TOOT, ternyata itu lampu dari rumah warga. Dimanakah saya?
Interaksi pertama saya dengan warga di hari itu dimulai dengan menyenteri cukup lama bapak-bapak yang berjalan berpapasan dengan saya. Kirain benda apa gitu, oh, ternyata bapak-bapak yang mendorong gerobak. Sudah dekat baru kelihatan itu orang.
“Aduh punten pak”, sapa saya. Bapaknya nyaut, “abis kemping dek?”, sedikit basa basi, kemudian langsung saja saya tanya dimana ini dan kemana jalan pulang. :)
Saya mengikuti jalan yang disarankan si bapak tadi dan akhirnya muncul di jalan kecil sebelah gerbang berportal bertuliskan Lembang Asri. Lalu meneruskan berjalan kaki ke jalan utama.
Tepat jam 6 saya akhirnya menemukan mesjid untuk solat subuh, sudah dekat dari jalan utama. Kemudian saya lanjut naik angkot ke lembang, naik ojek ke gerbang jayagiri, mengambil motor, dan pulang.

Menyenangkan bisa melakukan perjalanan seperti ini, sampai dipuncak dengan selamat dan pulang dengan selamat. Sedikit evaluasi bagiku, dan saran bagi yang ingin mencoba solo hiking, persiapannya harus lebih baik dari ini. Survey yang lebih baik, agar lebih lama di puncak, setidaknya hingga bisa menikmati sun-rise. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar