Secara tradisional, pemuliaan
tanaman, dan rekayasa genetika sebenarnya telah dilakukan oleh para petani
melalui proses penyilangan dan perbaikan tanaman. Misalnya melalui tahap
penyilangan dan seleksi tanaman dengan tujuan tanaman tersebut menjadi lebih besar,
kuat, dan lebih tahan terhadap penyakit. Selama puluhan bahkan ratusan tahun
yang lalu, para petani dan para pemulia tanaman telah berhasil memuliakan
tanaman padi, jagung, dan tebu, sehingga tanaman-tanaman tersebut mempunyai
daya hasil tinggi dan memiliki kualitas panen yang lebih baik.
Secara tidak sadar kita telah mengkategorikan tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional padi, jagung, dan tebu, tadi sebagai tanaman yang bersifat 'alamiah', padahal penampilan fenotif maupun genotif tanaman-tanaman tersebut sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kerabat alaminya yang asli yang tumbuh di alam bebas dan lebih mirip sebagai gulma atau malah tanaman kerabat alaminya tersebut sudah punah.
Secara tidak sadar kita telah mengkategorikan tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional padi, jagung, dan tebu, tadi sebagai tanaman yang bersifat 'alamiah', padahal penampilan fenotif maupun genotif tanaman-tanaman tersebut sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kerabat alaminya yang asli yang tumbuh di alam bebas dan lebih mirip sebagai gulma atau malah tanaman kerabat alaminya tersebut sudah punah.
Proses pemindahan gen pada pemuliaan
tradisional dilakukan melalui proses penyerbukan dengan perantaraan angin
maupun bantuan serangga penyerbuk. Proses penyerbukan ini sering kali
melibatkan bantuan manusia, misalnya melalui penyerbukan dengan cara
memindahkan serbuk sari tanaman yang satu ke ujung putik tanaman lainnya.
Pada proses penyerbukan dengan
bantuan manusia ini, tidak jarang jumlah kromosom (pembawa sifat) pada serbuk
sari tersebut harus 'disesuaikan' terlebih dahulu oleh larutan pengganda
kromosom seperti colchisine sehingga serbuk sari menjadi lebih kompatibel
dengan tanaman betina melalui kepala putiknya. Upaya ini terus dilakukan secara
berlanjut dalam bentuk penyelamatan embrio (embrio rescue) sehingga hibrida
dapat bertahan (survive) dan tumbuh menjadi tanaman dewasa.
Pemuliaan tradisional telah banyak
membantu meningkatkan produktivitas pertanian dalam kurun waktu 50 tahun
terakhir. Data FAO tahun 1992 menunjukkan adanya peningkatan hasil biji-bijian
(grain) dari rata-rata 1.1 ton per hektar pada tahun 1950 menjadi 2.8 ton per
hektar pada tahun 1992. Namun karena jumlah penduduk masih jauh lebih besar
dibandingkan dengan produksi pangan, peningkatan hasil pangan melalui proses
pemuliaan ini masih terus dikembangkan.
Ahli demografi dari Perserikatan
Bangsa Bangsa menyatakan jumlah penduduk dunia saat ini mencapai enam milyar
orang, atau jumlahnya dua kali lipat dari jumlah penduduk 50 tahun yang lalu.
Diperkirakan populasi dunia akan mencapai sembilan milyar pada 50 tahun
mendatang (Population Division, 1999). Untuk mencukupi kebutuhan pangan
penduduk yang populasinya terus bertambah dengan pesat ini, diperlukan lahan
pertanian yang luas. Sementara itu ketersedian lahan untuk pertanian semakin
lama semakin berkurang karena peruntukkannya banyak yang diubah menjadi lahan
perumahan dan industri.
Oleh karena itu, diperlukan
terobosan-terobosan di bidang teknologi pertanian untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertanian per unit lahan. Seperti diyakini para pakar,
rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi pertanian yang berpeluang
dapat me-ningkatkan produktivitas pertanian (Swa-minathan, 1999, McGloughlin,
1999). Teknologi ini telah berkembang pesat selama kurun waktu lima belas tahun
terakhir ini.
Prinsip rekayasa genetika sama
dengan pemuliaan tanaman, yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan
menambahkan sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman mahluk hidup pengganggu
maupun cekaman lingkungan yang kurang menguntungkan serta memperbaiki kualitas
nutrisi makanan. Perbedaan rekayasa genetika dengan pemuliaan tradisional
adalah kemampuan rekayasa genetika dalam memanfaatkan gen-gen yang tidak dapat
dipergunakan secara maksimal pada pemuliaan tradisional karena banyak gen yang
terhalang saat penyerbukan.
Rekayasa genetika adalah kelanjutan
dari pemuliaan secara tradisional. Tidak seperti halnya pemuliaan tanaman
secara tradisional yang menggabungkan seluruh komponen materi genetika dari dua
tanaman yang disilangkan, rekayas genetika memungkinkan pemindahan satu atau
beberapa gen yang dikehendaki dari satu tanaman ke tanaman lain.
Pada pemuliaan tradisional
diperlukan sedikitnya lima generasi penyilangan balik (backcross) untuk
menghilangkan gen-gen yang tidak dikehendaki dan mungkin bersifat merugikan
karena bertaut dengan gen yang diinginkan pada proses fertilisasi, sehingga
pemuliaan tanaman secar tradisional memerlukan waktu yang lama.
Selain itu, pemuliaan tanaman
tradisional memiliki keterbatasan dalam menggunakan sumber-sumber gen yaitu
hanya sebatas menggunakan tananam yang bisa disilangkan saja. Misalnya,
pemindahan gen yng toleran terhadap air asin dari tanaman manggrove famili
Rhizophoraceae pada tanaman padi tidak mungkin dilakukan melalui proses
penyilangan (Swaminathan, 1999).
Demikian halnya dengan pemindahan
gen untuk provitamin A pada endosperma biji padi yang tidak mungkin dapat dilakukan
secara tradisional. Keunggulan rekayasa genetika adalah mampu memindahkan
materi genetika dari sumber yang sangat beragam dengan ketepatan tinggi dan
terkontrol dalam waktu yang lebih singkat. Melalui proses rekayasa genetika
ini, telah berhasil dikembangkan tanaman yang tahan terhadap organisme
pengganggu seperti serangga, penyakit dan gulma yang sangat merugikan tanaman
(James, 1998). Departemen Pertanian Cina telah melakukan penelitian dan
pengujian lapangan terhadap 47 spesies tanaman transgenik dan 103 macam genetik
(Zhang, 1999).
Di negara kita, LIPI telah berhasil
memasukkan gen bioteknologi (Bt) pada padi sehingga padi tersebut menjadi tahan
hama dan serangga. Rekayasa genetika juga membawa perbaikan kualitas seperti
meningkatnya kandungan provitamin A padi (Ye dan kawan-kawan, 2000), menurunya
kadar lemak jenuh pada minyak nabati (Lehrer, 1999) dan masih banyak lagi.
Penelitian di Universitas Texas A
& M menunjukkan bahwa jagung Bt memiliki kadar racun mycotoxin (penyebab
kanker) yang sangat rendah dibanding jagung biasa, karena pada jagung Bt tidak
terdapat luka gigitan serangga yang biasanya menjadi tempat masuknya jamur
penghasil mycotoxin (Benedict dkk, 1998).
Tanaman-tanaman produk rekayasa
genetika (transgenik) kini telah ditanam secara luas di dunia. Menurut
penelitian organisasi nirlaba ISAAA (International Service for the Acquistion
of Agri-Biotech Aplication), penanaman produk rekayasa genetika merupkan
satu-satunya teknologi pertanian digunakan secara luas oleh petani sehingga mengalami
peningkatan yang pesat setiap tahunnya. Dengan tanaman hasil rekayasa genetika
ini, para petani menjadi lebih puas terhadap produk pertanian. Produk ini telah
berhasil memberikan berbagai keuntungan kepada petani misalnya memberikan hasil
yang meningkat, memudahkan budidaya pertanian, serta lebih ramah lingkungan
karena berkurangnya penggunaan bahan-bahan pestisida kimia. Total luas area
tanaman transgenik untuk tahun 2001 adalah 52,6 juta hektar (James, 2001).
Analisa resiko tanaman produk
rekayasa genetika
Pelepasan tanaman produk rekayasa
genetika ke alam dipandang memiliki resiko terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia seperti misalnya kemungkinan tanaman transgenik tersebut menjadi gulma,
kemungkinan terjadinya perpindahan gen pada spesies lain yang berakibat buruk,
dan resiko kesehatan karena tanaman transgenik tersebut digunakan sebProses
perpindahan DNA dari satu spesies ke spesies lain secara alami terjadi di alam.
Bahkan dipercaya proses ini merupakan bagian dari proses evolusi biosfer planet
bumi yaitu terjadinya perpindahan materi genetik ganggang hijau biru (merupakan
nenek moyang sel tanaman) yang menyebabkan tanaman menjadi mampu melakukan
proses fotosintesa yang secara drastis mengubah kondisi bumi yang tadinya tidak
beroksigen (anaerobik) menjadi beroksigen (aerobik) (Suwanto, 2000).
Contoh lain misalnya ketahanan
(survival) bakteri tanah Agrobacterium tumefasciens dengan mengintegrasikan
sebagian genomnya pada tanaman, seperti pada pembuatan tanaman transgenik saat
ini. Dengan demikian, proses perpindahan DNA pada tanaman transgenik tidak
dengan sendirinya menimbulkan resiko namun yang dihasilkan dari ekspresi gen
intraduksi-lah yang harus dikaji resikonya.
Berikut ini adalah petikan-petikan
analisa resiko yang berasal publikasi The Royal Society of New Zealand (Conner,
1997) dan dari sumber-sumbe:
Mungkinkah tanaman transgenik berubah menjadi gulma?
Seperti yang telah diuraikan di
atas, tanaman budidaya memiliki tampilan agronomis yang jauh berbeda
dibandingkan dengan tanaman nenek moyangnya yang mungkin lebih menyerupai
gulma. Ciri-ciri gulma adalah biji memiliki masa dormansi (istirahat) yang panjang,
mampu beradaptasi pada lingkungan yang beragam, pertumbuhan yang terus menerus,
serta penyebaran biji yang lebih luas. Ciri-ciri kegulmaan ini telah
dihilangkan pada tanaman budidaya melalui proses pemulian tanaman selama
ratusan bahkan ribuan tahun. Pemindahan satu gen saja (misalnya gen ketahanan
terhadap serangga, atau herbisida) tidak akan bisa mengembalikan semua karakter
kegulmaan pada tanaman budidaya.
Mungkinkah gen baru dipindahkan kepada gulma dan menjadi gulma yang super?
Penanaman tanaman transgenik yang
tahan terhadap herbisida mendatangkan kekhawatiran akan berpindahnya karakter
tahan terhadap herbisida tersebut pada kerabat liarnya yang merupakan gulma
sehingga tanaman tersebut dikhawatirkan menjadi tanaman gulma yang super.
Kekhawatiran ini terutama mungkin terjadi jika tanaman tersebut ditempatkan di
tempat keanekaragaman hayati (center of genetic diversity) tanaman transgenik
tersebut. Tanaman-tanaman budidaya yang ditanam secara luas di Indonesia dan
memiliki nilai tinggi berasal dari introduksi dari negara lain, seperti jagung
yang berasal dari Meksiko, kedelai dari Cina, kapas dari India, kelapa sawit
dari Papua Nugini, dan karet dari Brazil.
Perpindahan materi genetik dari
tanaman budidaya ke tanaman kerabat liarnya telah terjadi di tempat yang
merupakan pusat keanekaragaman hayati tanaman transgenik itu. Isu ini perlu
diperhatikan dan dicarikan jalan keluarnya. Dapat dikatakan bahwa isu ini tidak
unik pada tanaman transgenik karena tanaman transgenik yang tahan herbisida
tersebut bukan saja merupakan produk rekayasa genetika tetapi juga banyak
tanaman tahan herbisida yang merupakan hasil pemuliaan tanaman itu sendiri.
Apakah jagung Bt membahayakan kupu-kupu Monarch
Telah dilaporkan daun tanaman
milkweed yang ditaburi serbuk sari dari tanaman jagung hasil Bioteknologi (Bt)
membunuh ulat Kupu-kupu Monarch di laboratiorium Unirversitas Cornell (Losey
dkk, 1999). Laporan ini telah berturut-turut dibantah dengan penelitian yang
dilakukan skala lapangan. Penelitian lapangan ini menyimpulkan bahwa di
lapangan, tanaman milkweed yang merupakan satu-satunya sumber makanan ulat
kupu-kupu Monarch, ternyata tidak hidup dan tidak tumbuh bersama-sama dengan
jagung, masa reproduksi ulat Kupu-kupu Monarch juga tidak bersamaaan dengan
masa pembungaan tanaman jagung, dan kalaupun serbuk sari jagung jatuh ke daun
milkweed maka jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah serbuk sari yang dioleskan
ke permukaan daun pada saat percobaan laboratorium di Universitas Cornell
tersebut (Pleasant dkk 1999, sears 2000).
Apakah tanaman transgenik berbahaya bila dikonsumsi ?
Dr. Arpad Pusztai melakukan
penelitian mengenai dampak buruk terhadap kesehatan ikus setelah diberi makan
kentang transgenik yang mengandung gen lectin yang bersifat racun (Ewen dan
Pusztai 1999). Dapat dikatakan bahwa kentang transgenik ini bukan produk
komersial, kentang ini tidak mungkin lolos dalam pengujian keamanan pangan dan
diijinkan untuk di komersialkan karena sebelumnya telah diketahui sifat lectin
yang beracun. Selanjutnya, dalam pernyataan tertulisnya The Royal Society
menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Puztai tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya karena mengandung kesalahan (flaw) baik
dalam desain eksperimen, perlakuan maupun analisa hasilnya (The Royal Society Press
Release, 18 Mei 1999).
Tanaman transgenik dapat berbahaya
atau bermanfaat bagi manusia dan lingkungan tergantung tujuan pengembangannya
dan tidak terlepas juga dari sifat gen yang diintroduksi. Apabila gen
introduksi menghasilkan racun, maka tanaman transgenik dengan sendirinya akan
menjadi racun. Kelebihan dari proses rekayasa genetika tanaman transgenik
dibandingkan dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yaitu dalam tanaman
transgenik, gen yang dipindahkan dapat diketahui dengan persis dan dapat
diikuti "perjalanannya".
Analisa toksisitas pada tanaman
transgenik biasa dilakukan dengan menggunakan metoda acute gavage serta feeding
studies pada binatang-binatang percobaan untuk menentukan apakah protein baru
bersifat toksik atau tidak (Hamond dkk, 1996).
Sementara itu telah didokumentasikan
bahwa tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional pun dapat membahayakan
kesehatan seperti varietas kentang Lenape dari AS dan Kanada dan varietas
Magnum Bonum dari Swedia. Kedua varietas ini telah ditarik dari pasaran karena
memiliki kadar racun glikoalkaloid yang tinggi (Zitnak dari Johnston 1970,
Hellenas dkk 1995). Selain itu, varietas seledri yang resist (tahan) terhadap
serangga hasil pemuliaan tradisional yang dilepas di Amerika Serikat ternyata
memiliki kadar psoralen (karsinogen) yang tinggi (Ames dan Gold 1988).
Apakah produk rekayasa genetik (L-tryptophan) membunuh manusia ?
Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia
Syndrome) yang menyebabkan kematian pada manusia ternyata disebabkan oleh
konsumsi makanan suplemen yang mengandung L-tryptophan (US FDA 1990).
L-tryptophan dihasilkan dari hasil fermentasi bakteri Bacillus
amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam amino ini, perusahaan
pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa genetik bakteri Bacillus
amyloliquefaciens. Pada saat bersamaan perusahaan itu juga mereduksi penggunaan
karbon aktif yang diperlukan untuk menyaring kontaminan dan impuriti yang biasa
terdapat pada setiap proses fermentasi sebanyak 50%.
Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia
Syndrome) [tryptophan] yang terjadi diakibatkan oleh proses penyaringan yang
tidak sempurna. (Mayeno dkk, 1990 dan Hill dkk, 1993). Penyakit ini bukan
disebabkan karena penggunaan transgenik bakteri.
Apakah produk rekayasa genetika
dapat menyebabkan alergi ?
Alergi terhadap makanan diartikan
sebagai reaksi imunologi (kekebalan) tubuh, yang mempunyai dampak merugikan
kesehatan, terhadap antigen yang terdapat dalam makanan (Lehrer 1999). Lebih
dari 90% kasus alergi terhadap makanan disebabkan karena makanan-makanan yang
termasuk dalam "kelompok delapan" yaitu telur, ikan, makanan laut,
susu, kacang tanah, kacang kedelai, pohon penghasil kacang (tree nuts), dan
gandum (Taylor dan Lehrer 1996).
Rekayasa genetika memungkinkan terjadinya introduksi protein
yang berasal dari sumber yang beragam pada makanan. Alergy and immunology
institute dan Internasional food Biotechnology Council bersama dengan para
pakar dibidangnya telah merumuskan protokol pengujian kemungkinan makanan hasil
rekayasa genetika yang bersifat sebagai alergen (Metcalfe dkk, 1996). Untuk
menguji makanan hasil rekayasa genetika yang tidak mengandung alergen dilakukan
serangkaian pengujian meliputi identifikasi sumber gen apakah berasal dari
"kelompok delapan" di atas.
Jika demikian, selanjutnya dilakukan pengujian-pengujian imunologis seperti solid phase immunoassay dan tes skin prick. Seandainya sumber gen tersebut bukan berasal dari "kelompok delapan", susunan asam amino protein introduksi kemudian dibandingkan dengan protein-protein yang telah diketahui bersifat sebagai alergen yang terdapat dalam databaseGenBank, EMBL, SwisProt, PIR, untuk dilihat kesamaan susunan asam aminonya. Selanjutnya, stabilitas protein introduksi dianalisa sesuai dengan sifat allergen, karena juga allergen diketahui bersifat stabil pada suhu tinggi dan juga stabil pada sistem pencernaan. Beberapa contoh evaluasi alergenisitas tanaman hasil rekayasa genetika adalah sebagai berikut:
Jika demikian, selanjutnya dilakukan pengujian-pengujian imunologis seperti solid phase immunoassay dan tes skin prick. Seandainya sumber gen tersebut bukan berasal dari "kelompok delapan", susunan asam amino protein introduksi kemudian dibandingkan dengan protein-protein yang telah diketahui bersifat sebagai alergen yang terdapat dalam databaseGenBank, EMBL, SwisProt, PIR, untuk dilihat kesamaan susunan asam aminonya. Selanjutnya, stabilitas protein introduksi dianalisa sesuai dengan sifat allergen, karena juga allergen diketahui bersifat stabil pada suhu tinggi dan juga stabil pada sistem pencernaan. Beberapa contoh evaluasi alergenisitas tanaman hasil rekayasa genetika adalah sebagai berikut:
- Kedelai yang mengandung gen kacang Brazil (Nordlee
dkk).
Dalam upaya memperkaya protein kedelai dengan asam-asam amino yang mengandung gugus sulfur (seperti metionin), gen kacang Brazil yang kaya akan gugus sulfur telah dimasukkan ke dalam salah satu jenis kacang kedelai. Seperti diketahui baik kedelai maupun kacang Brazil, merupakan bagian dari " kelompok delapan" (tree nuts) yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Evaluasi alergenisitas terhadap kedelai transgenik dengan gen dari kacang Brazil meningkatkan potensi alergenisitas kedelai tersebut. Dengan demikian, pengembangan kedelai dengan gen dari kacang Brazil kemudian dihentikan (Conner 1997, Lehrer 1999).
- Meningkatkan kadar asam oleat (oleic acid) pada kacang kedelai. (Lehrer dan Reese, 1998).
Kedelai
ini direkayasa genetiknya kadar asam oleiknya meningkat sehingga lemak yang
terkandung dalam kacang kedelai tersebut menjadi lebih sehat. Proses rekayasa
genetika yang dilakukan pada kacang kedelai ini adalah dengan meningkatkan
kadar beberapa macam protein sehingga dikhawatirkan dapat pula meningkatkan
potensi alergenitas pada kacang kedelai tersebut. Evaluasi alergenisitas
kemudian dilakukan seperti halnya pada evaluasi kedelai dengan kacang Brazil di
atas. Hasilnya terbukti bahwa kacang kedelai dengan kadar asam oleat tinggi
tidak memiliki potensi alergenisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kacang kedelai biasa.
Dari contoh evaluasi alergenitas di
atas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan diintroduksinya alergen pada proses
rekayasa genetika sudah dapat diprediksi dengan metoda deteksi yang memang
sudah tersedia untuk mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan introduksi ini.
Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa penambahan protein pada
makanan yang bukan berasal dari kelompok delapan di atas, yang tidak memiliki
kesamaan susunan asam amino dengan protein alergen yang ada di database serta
protein pada sumber makanan tersebut mudah terurai (tidak stabil) pada
pemanasan maupun pada proses pencernaan, tidak membuat tanaman transgenik tersebit
menjadi lebih bersifat allergen dibandingkan dengan tanaman bukan transgenik.
Selain itu, dibandingkan dengan
proses pemuliaan biasa, gen yang diintroduksi pada tanaman hasil rekayasa
genetika, sudah diketahui persis susunan DNA-nya maupun protein hasil
ekspresinya, sehingga kemungkinan adanya allergen pada tanaman hasil rekayasa
genetika sudah dapat diprediksi lebih dini. Misalnya, penelitian di Jepang
menunjukkan dengan rekayasa genetika telah dimungkinkan adanya pengurangan
kadar protein allergen tanaman padi. (Matsuda dkk, 1993).
PENUTUP
Rekayasa genetika diyakini oleh
pakar sebagai terobosan teknologi yang berpotensi untuk meningkatkan
produktivitas pertanian per unit lahan yang diperlukan dalam mengimbangi jumlah
pertambahan penduduk. Untuk menjamin keamanan produk pertanian hasil rekayasa
genetika terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan, produk-produk ini harus
melewati proses pengujian sebelum dipasarkan. Di negara-negara lain,
metode-metode pengujian keamanan produk-produk pertanian hasil rekayasa
genetika telah tersedia dan penelitian atas tanaman-tanaman transgenik yang
kini dipasarkan telah diakui keamanan pangan (food safety) maupun keamanannya
terhadap lingkungan, misalnya oleh badan-badan pengatur seperti Health and
Welfare Canada (Kanada), Advisory Committee on Novel Foods and Process,
Ministry of Agriculture, fisheries and Food (Inggris), National Food Agency
(Denmark), Ministry of Agriculture, Fisheries, and Forestry (Jepang),
Australia, Argentina, Malaysia, Afrika Selatan dan negara-negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar