BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakekat
dari belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang baik afektif, kognitif
maupun psikomotorik. P0erubahan ini akan terjadi melalui berbagai proses secara
kontinyyu, yang menjadi permasalahan bagaimana strategi pembelajaran afektif
itu dapat diarahkan guna mencapai tujuan pendidikan, karena pembelajaran
afektif berhubungan sekali dengan valve (Nilai) yang sulit di ukur, karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, berada dalam fikiran seseorang,
yang sifatnya tersembunyi. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang
baik dan buruk, layak dan tidak layak, indah dan tidak indah. Pandangan tentang
semua itu hanya dapat diketahui dengan melihat sikap dan perilaku seseorang.
B.
Pembatasan-pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Apakah strategi pembelajaran-pembelajaran afektif itu?
2.
Apakah ada hubungan antara pembelajaran afektif, kognitif dan psikomotorik?
3.
Apa kegunaan mempelajari strategi pembelajaran-pembelajaran Afektif?
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari strategi pembelajaran-pembelajaran afektif.
2.
Untuk mengetahui Hakikat pendidikan, nilai dan sikap.
3.
Agar mengetahui proses pembentukan sikap.
4.
Agar mengetahui model strategi pembelajaran sikap.
5.
Agar dapat menerapkannya dalam proses pendi
BAB II
KAJIAN TEORITIS
PANDANGAN
PARA AHLI MENGENAI PEMBELAJARAN AFEKTIF
a. Menurut Mc Paul. Dia menganggap
pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional,
pembelajaran moral siswa adalah pembentukan keperibadian, bukan pengembangan
intelektual.
b. Menurut Kohlberg moral manusia
berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 (dua) tahap.
c. Menurut John Dewey dan Jean Pinget,
berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses Restrukturisasi
kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
d. Menurut Dooglas Graham (Golu). Nilai
tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan
dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik, masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat
berubah, berkembang, sehingga bisa dibina, perkembangan nilai-nilai atau moral
tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap-tahap.
BAB III
STRATEGI PEMBELAJARAN-PEMBELAJARAN
AFEKTIF
A.
Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi
pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi
lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang
sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam,
afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
B.
Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Sikap
(afektif) erat kaitanya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap
pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada
dalam pikiran manusia yang sifat-sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia
yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan
buruk, layak dan tidak layak, pandangan seseorang tentang semua itu, nilai pada
dasarnya adalah setandar perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai
pada dasarnya proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan
kepada siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
1. Normativist
: Kepatuhan yang terdapat pada norma-norma hukum.
2. Integralist
: Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional.
3. Fenomalist
: Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4. Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendiri.
Nilai
bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan
selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu.
Oleh sebab itu, sisytem nilai yang dimiliki seseorang bisa di bina dan di
arahkan. Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui
pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya
jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukan gejala
senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Goul (2005) menyimpulkan
tentang nilai tersebut :
Nilai
tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan
dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan
psikomotorik. Maslah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat
berubah, berkembang, sehingga bisa dibina. Perkembangan nilai atau moral tidak
akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Sikap
adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian,
berlajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak
suatu objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga
(sikap positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatife).
C.
Proses Pembentukan Sikap
Pola
pembiasaan
Dalam
proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya
sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari
guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan
akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci
pada guru dan mata pelajarannya.
Modeling.
Pembelajaran
sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap
melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak
didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan
(imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau
di demontrasikan oleh orang yang menjadi idman. Modering adalah proses peniruan
anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang di hormatinya.
Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan kagum.
D.
Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap
strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini diharapkan
siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya baik.
a.
Model Konsiderasi
Model
konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa
pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional.
Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini
menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian,
tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki keperibadian terhadap
orang lain.
b.
Model Pengembangan Kognitif
Model
ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang berpendapat
bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi kognitif
yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
c.
Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik
volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai tehnik
pengajaran untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang
di anggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis
nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana
sebenarnya seseorang membangun nilai menurut anggapanya baik, yang pada
akhirnya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat.
Kesulitan
Dalam Pembelajaran Afektif.
Kesulitan
dalam pembelajaran afektif ini dikarnakan :
Sulit
melakukan control karma banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan
maupun modeling bukan hanya di temukan oleh faktor guru, akan tetapi faktor
lain terutama faktor lingkungan.Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di
evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek kognitif dan aspek keterampilan
yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir,
keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup
pnjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang
memerlukan proses lama.
Pengaruh
kemajuan teknologi, berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa
dipungkiri program-program TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti
budaya asing yang belum cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang
kehidupan.
E.
Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan
Pembelajaran
Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran
biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu memperoleh
pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran,
melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini diarahkan
untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga
menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan keterampilan, melalui proses
pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subjek belajar.
Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu,
memang Afektif dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi
penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan
membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah
mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari
proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tidak serta merta
menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat kebiasaan berbahasa atau
sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam
keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai
adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan
tidak indah dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa
diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan.
Oleh karena itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan
atau kriteria seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak dan
sebagainya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses
penanaman niali kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat
berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku.
Ada
empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap niali tertentu
yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu :
1.
Normativist
Biasanya
kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri ;
kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri ; kepatuhan pada
haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
2.
Integralist
Yaitu
kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional
3.
Fenomenalist
Yaitu
kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4.
Hedonist
Yaitu
kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Faktor
Normativist adalah faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap
individual, karena kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari
kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan
untuk dirinya atau tidak.
Dari
empat faktor diatas terdapat lima tipe kepatuhan, yakni :
a.
Otoritarian
Yaitu
suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b.
Conformist
Kepatuhan
ini mempunyi tiga bentuk, antara lain : Conformist directed, yaitu penyesuaian
diri terhadap masyarakat atau orang lain, conformist hedonist yaitu kepatuhan
yang berorientasi pada “untung-rugi” dan conformist integral yaitu kepatuhan
yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat.
c.
Compulsive : Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten
d.
Hedonik Psikopatik
Yaitu
kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.
Supramoralist
Yaitu
kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Pada
era teknologi informasi yang berkembang secara pesat ini, pendidikan nilai
sangatlah penting untuk diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang
negatif. Nilai pada seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah.
Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada
saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina
dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah diatas
segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu.
Dengan demikian sikap seorang sangat tergantung pada sistem nilai yang
dianggapnya paling benar dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan
perilaku orang tersebut.
Gulo
(2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
1.
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
2. Pengembangan domain afektif pada
nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik
3. masalai ini adalah masalah emosional
dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa di bina.
4.
Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap
tertentu
Sikap
adalah kecenderungan seseerang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian,
belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak
suatu objek; berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang
berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berhrga/tidak berguna (sikap
negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dlam
mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan
untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative (winkel : 2004).
Apakah
sikap dapat dibentuk ?
Dalam
proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar
membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner melalui
teorinya operant conditioaning. Proses pembentukan sikap yang dilakukan Skinner
menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kalianak menunjukkan
prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan
hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha
meningkatkan sikap positifnya.
Pembelajaran
sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi tau proses mencontoh. Salah satu karakteristik
anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan.
Prinsip peniruan ini dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan
anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya.Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses
modeling pada awalnya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi
pengarahan dan pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Hal ini diperlukan agar
sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari oleh suatu keyakinan kebenaran
sebagai suatu sistem nilai.
Model-model
strategi pembelajaran sikap antara lain :
1.
Model konsiderasi
Model
konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul (seorang
humanis). Dia menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan perkembangan
kognitif yang rasional. Menurut dia, pembelajaran moral siswa adalah
pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada
strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian dengan tujuan agar siswa
menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Pembelajaran
sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan
untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan merasakan apa yang
dirasakan orang lain. Implementasi dari model ini, guru dapat mengikuti tahapan
dibawah ini :
a. Menghadapkan siswa pada suatu maslah
yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Ciptakan suasana “seandainya siswa tersebut ada dalam masalah itu”.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis
situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang
tersirat dalam permasalah tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan
orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan
tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar
siswa dapat menelaah perasaanya sendiri sebelum ia mendengar respons orang lain
untuk dibandingkan.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis
respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan
siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan
akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Siswa diajak
berfikir keras dan harus dapat menjelaskan argumennya secara terbuka serta
dapat saling menghargai pendapat orang lain.
f.
Mengajak siswa untuk memandang
permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka
dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan
sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan
pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai benar atau salah atas
pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat membimbing mereka menentukan
pilihan yang lebih matang sesuai dengan pertimbangan sendiri.
2.
Model Pengembangan kognitif
Model
pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh
Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean
Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari
restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut
urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3
tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingakat-tingkat tersebut
antara lain :
a.
Tingkat Prakonvensional
Pada
tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri.
Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini
dibagi dua tahap yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak
didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir
bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan
hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui agar tidak timbul konsekuensi negatif :
Tahap orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa
“adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil
manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian
perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling meberi.
b.
Tingkat Konvensional
Dalam
tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat.
Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka, akan tetapi
apakah permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Banyak
yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti
pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan
pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh
pembelajaran, oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran
melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (Value) yang
sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan
tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan
membutuhkan ktelitian dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah
dilakukan, dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Yang
termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a.
Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
b.
Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
c.
Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan
tertentu.
d.
Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
e.
Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai
sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang
mantap.
B.
Saran
Akhirnya
makalah yang bertema strategi pembelajran-pembelajaran afektif dapat kami
selesaikan. Dengan keterbatasan referensi dan kurangnya pengetahuan yang kami
miliki mengenai strategi pembelajaran afektif ini, untuk itu saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya
Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Kencana. Jakarta :
2008.
Raka,
Joni. Strategi Belajar Mengajar, P3G, Jakarta : 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar