Membuat janji tidak bisa dianggap remeh. Janji adalah sebuah
komitmen, dan kita bisa dikejar perasaan bersalah – walau banyak yang
tidak merasa – gara gara wanprestasi atau ingkar janji. Mereka yang
selalu menepati janji adalah pribadi yang memiliki integritas, karena
menjadi barang langka di negeri ini.
Budaya ikhlas, disatu sisi seperti heritage kultur masyarakat yang terbiasa tawakal dan menyerahkan diri pada kehidupan semesta alam. Namun disisi lain, menjadi simbol manusia yang lemah dan tertindas.
Apakah kita berhak meminta janji yang telah diucapkan oleh pemimpin kita, juga anggota dewan. Janji yang sering diucapkan dalam kampanye kampanye terdahulu. Apakah kita harus ikhlas dengan janji ‘ gombal mukiyo ‘ dari Gubernur Fauzi Bowo yang berjanji akan mengurus Jakarta sesuai dengan motto Sang Ahli. Problemnya justru kadang kita tak pernah berani mempertanyakan cidera janji itu. Karena sudah di’ bom ‘ dengan kata ikhlas sejak awal. Apalagi kita bangsa yang mudah lupa. Sekaligus mudah memaafkan.
Ini mungkin aneh. Semakin kita diminta ikhlas, sesungguhnya kita justru tak pernah bisa ikhlas. Butuh tingkat pencapaian sufi untuk menempatkan rasa penyerahan diatas segala galanya. Para wartawan yang menyerbu Darsem ketika tiba di Bandara Soekarno Hatta, membuat perempuan yang baru dibebaskan dengan uang diat sebesar 4.7 milyar ketakukan dan menangis. Mungkin mereka tak bisa mengikhlaskan Darsem melenggang pulang ke kampung halaman tanpa memberikan konfirmasi keterangan untuk pers. Bukankah kami yang mengangkat berita ini sehingga donator mudah tergerak mengumpulkan uang diat. Jadi wajar beri kami sesuatu berita.
Apakah Nazarudin ikhlas kehilangan segala galanya. Setelah menggelontorkan puluhan milyar untuk partai Demokrat dan orang orang yang dianggapnya sebagai kunci. Kini ia dianggap pesakitan. Mungkin dia berpikir. Saya jatuh dan saya akan membawa semua orang ikut jatuh.
Barang kali kita harus belajar ilmu ikhlas. Demikian status BB seorang teman yang saya baca. Bagaimana caranya ?
Saya pernah dalam suatu masa, kehilangan orang yang saya pernah cintai. Juga kenangan berharga lainnya. Butuh waktu untuk membuatnya lepas. Waktu ayah saya meninggal, saya tak pernah bisa ikhlas waktu itu.
Disisi lain, agak susah menghitung nilai keikhlasan kita sepanjang hak hak kita sebagai warga negara juga tetap terabaikan. Dalam tataran informal kita terus mempertanyakan itu terus. Bisa jadi bumerang, ketika kita merelakan hak hak kita yang terampas. Kita apatis. Itu berbahaya, artinya kita tidak perduli.
Saya takut kalau kita lebih perduli dengan ketidak-ikhlasan kenapa film Harry Potter 7 tidak diputar di Indonesia
Budaya ikhlas, disatu sisi seperti heritage kultur masyarakat yang terbiasa tawakal dan menyerahkan diri pada kehidupan semesta alam. Namun disisi lain, menjadi simbol manusia yang lemah dan tertindas.
Apakah kita berhak meminta janji yang telah diucapkan oleh pemimpin kita, juga anggota dewan. Janji yang sering diucapkan dalam kampanye kampanye terdahulu. Apakah kita harus ikhlas dengan janji ‘ gombal mukiyo ‘ dari Gubernur Fauzi Bowo yang berjanji akan mengurus Jakarta sesuai dengan motto Sang Ahli. Problemnya justru kadang kita tak pernah berani mempertanyakan cidera janji itu. Karena sudah di’ bom ‘ dengan kata ikhlas sejak awal. Apalagi kita bangsa yang mudah lupa. Sekaligus mudah memaafkan.
Ini mungkin aneh. Semakin kita diminta ikhlas, sesungguhnya kita justru tak pernah bisa ikhlas. Butuh tingkat pencapaian sufi untuk menempatkan rasa penyerahan diatas segala galanya. Para wartawan yang menyerbu Darsem ketika tiba di Bandara Soekarno Hatta, membuat perempuan yang baru dibebaskan dengan uang diat sebesar 4.7 milyar ketakukan dan menangis. Mungkin mereka tak bisa mengikhlaskan Darsem melenggang pulang ke kampung halaman tanpa memberikan konfirmasi keterangan untuk pers. Bukankah kami yang mengangkat berita ini sehingga donator mudah tergerak mengumpulkan uang diat. Jadi wajar beri kami sesuatu berita.
Apakah Nazarudin ikhlas kehilangan segala galanya. Setelah menggelontorkan puluhan milyar untuk partai Demokrat dan orang orang yang dianggapnya sebagai kunci. Kini ia dianggap pesakitan. Mungkin dia berpikir. Saya jatuh dan saya akan membawa semua orang ikut jatuh.
Barang kali kita harus belajar ilmu ikhlas. Demikian status BB seorang teman yang saya baca. Bagaimana caranya ?
Saya pernah dalam suatu masa, kehilangan orang yang saya pernah cintai. Juga kenangan berharga lainnya. Butuh waktu untuk membuatnya lepas. Waktu ayah saya meninggal, saya tak pernah bisa ikhlas waktu itu.
Disisi lain, agak susah menghitung nilai keikhlasan kita sepanjang hak hak kita sebagai warga negara juga tetap terabaikan. Dalam tataran informal kita terus mempertanyakan itu terus. Bisa jadi bumerang, ketika kita merelakan hak hak kita yang terampas. Kita apatis. Itu berbahaya, artinya kita tidak perduli.
Saya takut kalau kita lebih perduli dengan ketidak-ikhlasan kenapa film Harry Potter 7 tidak diputar di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar