Lebih Baik Menjadi Diri Sendiri
(Sebuah Catatan Kecil di Pertengahan Tahun)
Oleh: Cibut Dawaryo*
Setiap
orang memiliki sisi keunikan dan kelebihan tersendiri. Dan itu mesti
sudah menjadi kepastian dari tuhan yang maha kuasa. Tinggal kita yang
mau memanfaatkannya dalam mengarungi hidup ke depan. Meski hal itu masih
saja tidak menjadikan kita lebih baik dengan segala potensi yang ada
pada kita. Justru yang ada, kita masih kebingungan dalam melangkahkan
‘kaki’ ini untuk menentukan beragam pilihan.
Ketika sebagian orang sedang
menapaki hari demi hari tanpa arah dan tujuan, haruskah kita juga
demikian? Tidak. Haruskah kita juga mau ikut-ikutan saja, tanpa ada
dorongan yang kuat dari dalam diri untuk mencernanya terlebih dahulu?
Tapi, terkadang kita mudah terpengaruh dengan orang lain yang dalam
anggapan kita lebih pantas untuk kita tiru. Padahal tidak semua yang
orang lain itu lakukan bisa kita laksanakan, tidak bisa. Karena itu
semua berasal dari dalam dirinya dan memang sesuai dengan kehendak
dirinya, serta sejalan dengan tujuan hidupnya.
Kenapa
kita kadang kala masih terpengaruh oleh orang lain. Sedangkan kita
sering sekali mendengar bahasa untuk terus hidup menjadi diri sendiri, be your self.
Hal ini sesuai dengan perkataan Jean Paul Sartre, seorang
eksistensialis dari Prancis, “manusia adalah sebagaimana ia menjadi
dirinya sendiri,” dan ironisnya kita tidak menyadarinya. Kalau kita
boleh berspekulasi, semua karena kesadaran kita yang masih kurang.
Minimnya kesadaran dalam diri kita membuat kita seolah menelan
mentah-mentah perkataan orang lain yang kita anggap lebih pantas untuk
kita tiru. Misalnya karena faktor usia yang lebih tua, atau karena
faktor tingkat pendidikan yang ia tempuh.
Namun
apapun itu, diakui atau tidak hal itu telah mematikan eksistensi diri.
Cobalah untuk berpikir barang sejenak, saya ini juga manusia,
dianugerahi akal dan hati, sama dengan ia yang kita anggap sudah super,
sehingga kita terus mengekor padanya. Akal sebagai sumber ide dan
berbagai macam hal yang dapat ditimbulkan, seperti pemikiran, cita-cita,
hasrat, dan lain-lain. Kita juga dilengkapi hati sebagai tempat untuk
mempertimbangkan segala sesuatu lewat perenungan terhadap tuhan. Tidak
hanya itu, kita juga sadar kalau hidup kita adalah tanggungjawab kita
sebagai makhluk ciptaannya, kelak ketika kita menghadapNya. Tapi kenapa
kita masih saja terlalu cengeng, tidak mandiri untuk menentukan pilihan
sendiri.
Agama sangat benar dengan melarang pada umatnya untuk tidak taqlid buta, yang dalam hal ini saya mengartikannya sebagai proses pembodohan belaka. Taqlid buta –saya juga samakan dengan orang yang cuma suka ngekor-,
hal ini tidak hanya mematikan eksistensi diri, tapi juga mematikan
kreativitas berpikir kita. Islam, agama kita sangat menginginkan umatnya
maju, bebas berkreasi dalam berpikir, kapanpun dan di manapun, tanpa
harus bergantung sama orang lain. Ini tentu selaras dengan ungkapan
Mohammad Iqbal, “…ruang dan waktu adalah kreasi pikiranku.” Dari ini
menandakan bahwa kita dituntut untuk terus menenerus berpikir apa saja,
setiap hal.
Di
penghujung tahun ini, kita harusnya introspeksi diri dalam-dalam,
selama ini apa saja yang telah mengikat kita untuk begerak maju. Saya
sangat yakin kalau setiap orang pasti ingin maju. Tapi, hal itu hanya
mimpi belaka, sebab tidak dibarengi dengan langkah konkret yang dapat
memajukan masa depannya. Bahkan kita malah dalam bertindak masih
bergantung sama orang lain, tanpa memaksimalkan kemampuan sendiri untuk
berpikir dan memutuskan pilihan. Maka dari itu, di akhir tahun ini,
sebelum masuk tahun baru kita selayaknya memupuk semangat baru untuk
maju dengan langkah demi langkah dalam berubah. Dari dulu kita sudah
terbiasa hidup dalam ketiak orang lain, cobalah mulai sekarang, hingga
nanti tahun depan dan seterusnya, kita berusaha untuk hidup lebih
dewasa, tidak bergantung sama orang lain, apapun itu. Bebaskan semua
belenggu, teruslah berpikir visioner ke depan. Dengan demikian,
diharapkan kita akan lebih maju, tanpa terlalu menunggu uluran tangan
orang lain.
Ada
satu catatan bahwa peran hati juga jangan pernah sampai ditinggalkan,
karena hati nurani adalah tempat berlabuhnya segala pentunjuk dari
tuhan, hati sebagai alat untuk mencari petunjuk tuhan. Maka dalam
berpikir kita haruslah sering-sering untuk meminta nasehat hati nurani.
Karena apapun yang datang dari hati nurani semua bersumber dari tuhan,
meski tak jarang harus berseberangan dengan akal. Ini tentu semakna
dengan ucapan Blaise Pascal, “hati mempunyai alasan-alasan yang tidak
bisa dimengerti oleh akal.” Nah, disinilah rumitnya bagi kita
untuk mendamaikan hati dan akal. Namu, hal itu jangan terlalu dijadikan
beban sebagai penghalang kita untuk tetap bergerak maju. Teruslah
berpikir, dan jangan lupa untuk selalu meminta nasehat hati.
Mulailah
diri kita sendiri, dan juga harus dari sekarang untuk melakukan
perubahan, serta untuk pertama, kita memulainya dari hal yang kecil
terlebih dahulu. Seperti itulah rumus unuk melakukan perubahan yang
diutarakan Abdullah Gymnastiar, atau yang lebih dikenal Aa Gym. Kita
sebagai penerus bangsa, harapan masa depan tentu harus segera memulai
gerak langkah untuk melakukan perubahan. Jangan pernah takut langkah
kita ditentang oleh banyak orang. Mereka saja yang tidak mau
memfungsikan rasionya untuk berpikir.
Memang,
langkah kita terkadang menuai banyak hal yang mengancam terhadap diri
kita sendiri. Di situlah kita benar-benar diajarkan untuk dewasa dalam
memecahkan segala persoalan. Sekali lagi, jangan pernah takut, teruslah
maju, biarkan semua itu berlalu mengiringi detak langkah
hidup kita. Anggaplah sebagai tantangan, walaupun tak sedikit yang
berakibat membahayakan. Yakinkan pada kita memang dalam hidup tidak akan
pernah lepas dari segala bahaya, seperti perkataan Benito Mussolini,
“hidup adalah untuk menempuh bahaya,” tapi tak sedikit bahaya dan
tantangan itu bisa mengantarkan kita menjadi orang besar. Begitulah
salah satu celotehnya ‘si gila’ Nietzsche. Bangsa ini menunggu gerak
kita…