Kamis, 29 Desember 2011

diri sendiri

Lebih Baik Menjadi Diri Sendiri
(Sebuah Catatan Kecil di Pertengahan Tahun)
Oleh: Cibut Dawaryo*
Setiap orang memiliki sisi keunikan dan kelebihan tersendiri. Dan itu mesti sudah menjadi kepastian dari tuhan yang maha kuasa. Tinggal kita yang mau memanfaatkannya dalam mengarungi hidup ke depan. Meski hal itu masih saja tidak menjadikan kita lebih baik dengan segala potensi yang ada pada kita. Justru yang ada, kita masih kebingungan dalam melangkahkan ‘kaki’ ini untuk menentukan beragam pilihan.
Ketika sebagian orang sedang menapaki hari demi hari tanpa arah dan tujuan, haruskah kita juga demikian? Tidak. Haruskah kita juga mau ikut-ikutan saja, tanpa ada dorongan yang kuat dari dalam diri untuk mencernanya terlebih dahulu? Tapi, terkadang kita mudah terpengaruh dengan orang lain yang dalam anggapan kita lebih pantas untuk kita tiru. Padahal tidak semua yang orang lain itu lakukan bisa kita laksanakan, tidak bisa. Karena itu semua berasal dari dalam dirinya dan memang sesuai dengan kehendak dirinya, serta sejalan dengan tujuan hidupnya.
Kenapa kita kadang kala masih terpengaruh oleh orang lain. Sedangkan kita sering sekali mendengar bahasa untuk terus hidup menjadi diri sendiri, be your self. Hal ini sesuai dengan perkataan Jean Paul Sartre, seorang eksistensialis dari Prancis, “manusia adalah sebagaimana ia menjadi dirinya sendiri,” dan ironisnya kita tidak menyadarinya. Kalau kita boleh berspekulasi, semua karena kesadaran kita yang masih kurang. Minimnya kesadaran dalam diri kita membuat kita seolah menelan mentah-mentah perkataan orang lain yang kita anggap lebih pantas untuk kita tiru. Misalnya karena faktor usia yang lebih tua, atau karena faktor tingkat pendidikan yang ia tempuh.
Namun apapun itu, diakui atau tidak hal itu telah mematikan eksistensi diri. Cobalah untuk berpikir barang sejenak, saya ini juga manusia, dianugerahi akal dan hati, sama dengan ia yang kita anggap sudah super, sehingga kita terus mengekor padanya. Akal sebagai sumber ide dan berbagai macam hal yang dapat ditimbulkan, seperti pemikiran, cita-cita, hasrat, dan lain-lain. Kita juga dilengkapi hati sebagai tempat untuk mempertimbangkan segala sesuatu lewat perenungan terhadap tuhan. Tidak hanya itu, kita juga sadar kalau hidup kita adalah tanggungjawab kita sebagai makhluk ciptaannya, kelak ketika kita menghadapNya. Tapi kenapa kita masih saja terlalu cengeng, tidak mandiri untuk menentukan pilihan sendiri.
Agama sangat benar dengan melarang pada umatnya untuk tidak taqlid buta, yang dalam hal ini saya mengartikannya sebagai proses pembodohan belaka. Taqlid buta –saya juga samakan dengan orang yang cuma suka ngekor-, hal ini tidak hanya mematikan eksistensi diri, tapi juga mematikan kreativitas berpikir kita. Islam, agama kita sangat menginginkan umatnya maju, bebas berkreasi dalam berpikir, kapanpun dan di manapun, tanpa harus bergantung sama orang lain. Ini tentu selaras dengan ungkapan Mohammad Iqbal, “…ruang dan waktu adalah kreasi pikiranku.” Dari ini menandakan bahwa kita dituntut untuk terus menenerus berpikir apa saja, setiap hal.
Di penghujung tahun ini, kita harusnya introspeksi diri dalam-dalam, selama ini apa saja yang telah mengikat kita untuk begerak maju. Saya sangat yakin kalau setiap orang pasti ingin maju. Tapi, hal itu hanya mimpi belaka, sebab tidak dibarengi dengan langkah konkret yang dapat memajukan masa depannya. Bahkan kita malah dalam bertindak masih bergantung sama orang lain, tanpa memaksimalkan kemampuan sendiri untuk berpikir dan memutuskan pilihan. Maka dari itu, di akhir tahun ini, sebelum masuk tahun baru kita selayaknya memupuk semangat baru untuk maju dengan langkah demi langkah dalam berubah. Dari dulu kita sudah terbiasa hidup dalam ketiak orang lain, cobalah mulai sekarang, hingga nanti tahun depan dan seterusnya, kita berusaha untuk hidup lebih dewasa, tidak bergantung sama orang lain, apapun itu. Bebaskan semua belenggu, teruslah berpikir visioner ke depan. Dengan demikian, diharapkan kita akan lebih maju, tanpa terlalu menunggu uluran tangan orang lain.
Ada satu catatan bahwa peran hati juga jangan pernah sampai ditinggalkan, karena hati nurani adalah tempat berlabuhnya segala pentunjuk dari tuhan, hati sebagai alat untuk mencari petunjuk tuhan. Maka dalam berpikir kita haruslah sering-sering untuk meminta nasehat hati nurani. Karena apapun yang datang dari hati nurani semua bersumber dari tuhan, meski tak jarang harus berseberangan dengan akal. Ini tentu semakna dengan ucapan Blaise Pascal, “hati mempunyai alasan-alasan yang tidak bisa dimengerti oleh akal.” Nah, disinilah rumitnya bagi kita untuk mendamaikan hati dan akal. Namu, hal itu jangan terlalu dijadikan beban sebagai penghalang kita untuk tetap bergerak maju. Teruslah berpikir, dan jangan lupa untuk selalu meminta nasehat hati.
Mulailah diri kita sendiri, dan juga harus dari sekarang untuk melakukan perubahan, serta untuk pertama, kita memulainya dari hal yang kecil terlebih dahulu. Seperti itulah rumus unuk melakukan perubahan yang diutarakan Abdullah Gymnastiar, atau yang lebih dikenal Aa Gym. Kita sebagai penerus bangsa, harapan masa depan tentu harus segera memulai gerak langkah untuk melakukan perubahan. Jangan pernah takut langkah kita ditentang oleh banyak orang. Mereka saja yang tidak mau memfungsikan rasionya untuk berpikir.
Memang, langkah kita terkadang menuai banyak hal yang mengancam terhadap diri kita sendiri. Di situlah kita benar-benar diajarkan untuk dewasa dalam memecahkan segala persoalan. Sekali lagi, jangan pernah takut, teruslah maju, biarkan semua itu berlalu mengiringi detak langkah hidup kita. Anggaplah sebagai tantangan, walaupun tak sedikit yang berakibat membahayakan. Yakinkan pada kita memang dalam hidup tidak akan pernah lepas dari segala bahaya, seperti perkataan Benito Mussolini, “hidup adalah untuk menempuh bahaya,” tapi tak sedikit bahaya dan tantangan itu bisa mengantarkan kita menjadi orang besar. Begitulah salah satu celotehnya ‘si gila’ Nietzsche. Bangsa ini menunggu gerak kita…

mimpi boleh saja